Kamis, 06 Agustus 2009

Where Are You Going, Mbah?

pini


Where Are You Going, Mbah?

Rabu, 5 Agustus 2009 - 09:51 wib
text TEXT SIZE :
Share

Karier dan rezeki bisa direncanakan, kesehatan juga yang menentukan. Duit bisa dicari atau malah mendatangi, tapi belum tentu bisa dinikmati.

Popularitas bisa meroket ke langit atas dalam sekejap, tapi bukan tanpa batas. Tawa lepas bisa terus bergema, tapi ada akhirnya. Yang tersisa hanya tanda tanya, tapi juga makna. Barangkali ini sepenggal gambaran Mbah Surip, penyanyi jalanan yang baru saja mencicipi kuah industri ketika lagunya "Tak Gendong" menembus rumah gedong maupun rumah pinggiran dan paling sering berdering di ring telepon.

Sosoknya ada di berbagai stasiun siar televisi dengan penampilan rambut, kostum, dan baret yang sama. Mbah Surip, setelah 20 tahun lebih berkubang di dunia kesenian, menjadi "tetangga sebelah" dalam masyarakat kita. Maka kepergian Mbah untuk seterusnya Selasa kemarin (4/8/2009) membuat kita merasa kehilangan. Mbah Surip seakan kita kenal dengan baik-sebagaimana lazimnya masyarakat urban mengenali selebriti.

Seakan kita kenal karena kita kenal rambut gimbal yang benar-benar liat- saya pernah menyentuhnya--atau kebiasaannya tidur di lantai--hari terakhir kabarnya tidur di sofa--ataupun tawa lepasnya, baik sebagai jawaban pertanyaan yang ditujukan kepadanya atau sebagai pelarian, atau kebiasaannya naik "ojek" dari satu panggung ke panggung berikutnya. Namun selebihnya kita tak pernah tahu, berapa usia sebenarnya- baru 46 tahun menurut kartu tanda penduduk atau bisa 60 tahun kalau lawan bicaranya seusia itu.

Bisa punya gelar banyak atau bekerja di mana-mana, tapi tak perlu dibuktikan. Mengenai kegiatan dan kesehatannya, saya pernah menulis di harian ini, sekadar mengingatkan. Juga ketika bertemu dalam suatu acara bersama di mana Mbah Surip ngotot kepingin mengiringi dengan gitar ketika saya membaca puisi. Waktu itu saya mengetes untuk membuat lagu secara spontan mengenai pilpres. Almarhum tak segera menangkap dan baru mulai memetik gitar ketika mendengar kata quick count. Almarhum berjanji akan menyelesaikan ketika lima hari lalu berhubungan lagi untuk menjadikan beliau sebagai model iklan sebuah apartemen.***

Sebagai seniman "tempo doeloe" yang memanjakan suara hati, yang mendasarkan sikapnya pada mood, Mbah Surip bukan tipe pekerja "9-5" yang bekerja dari jam 9 pagi sampai 5 sore. Baginya semua waktu sama saja untuk memulai, juga mengakhiri. Pentas mana pun yang mengundang akan didatangi, tanpa jadwal pasti bisa atau tidak dicapai. Kebiasaan itu telah menyatu dengan hidupnya ketika masih menggelandang di Taman Ismail Marzuki, di Wapres (Warung Apresiasi) Bulungan, Jakarta, atau juga ketika mulai rekaman awal di daerah Menteng.

Di studio rekaman itu, Mbah Surip diperbolehkan merekam lagu apa saja, semau-maunya, secara gratis. Di situ saya mengenal lebih dekat dan nyatanya tak berubah dari dulu hingga saat terakhir. Kondisi menggelandang-begadang, ditunjang minum kopi berkali-kali, sedikit banyak merontokkan stamina tubuhnya meskipun tetap membuat tanda tanya dengan kepergiannya yang tiba-tiba. Kondisi itu sudah dijalani sekian lama dan mestinya sudah mengalir kekebalan di dalam darahnya.***

Saya tidak mempersoalkan penyebab terakhir kematiannya karena sosoknya sebagai seniman penghibur lebih luhur untuk dikenang. Seorang musisi dengan "satu jurus"-lagu-lagunya sudah lama didendangkan--akhirnya menembus pasar industri. Sertamerta dengan itu, kita terkesima dengan gaya hidupnya, dengan lirik-lirik yang disuarakan, dan menemukan potongan-potongan mantra yang makna kreativitasnya berada dalam benak masyarakat.

Bahwa pertanyaan "where are you going?" bisa berarti filosofis, tapi juga diterima biasa-biasa. Bahwa jawaban "I am OK" bisa berarti benar-benar oke atau ungkapan yang diperdengarkan kembali dari apa yang didengar. Bahwa "bangun tidur, tidur lagi, bangun lagi, tidur lagi" menggambarkan suasana tersamar, juga keseharian yang tak jauh dari itu. Inilah sumbangan terbesar Mbah Surip sebagai penghibur, sebagai pembuat suasana gembira, sosok seniman jelata yang menyapa tanpa menimbulkan luka atau bentuk protes atau mempresentasikan diri sebagai "seseorang dengan sikap pemberontak" misalnya.

Dia hadir dengan sosok yang sederhana, sebisanya, dan mengalir dalam suasana itu. I love you, full, adalah sapaan paling mesra dan bukan peace manatau teriakan heiii yang dipanjang-panjangkan. Gerak kakinya yang naik turun di tempat lebih lokal dibandingkan lari ke sana-kemari dan atau meminta penonton mengangkat tangan di atas atau menggoyanggoyangkannya. Atau kesederhanaan dengan rambut yang luar biasa gimbal-sebagian sudah beruban- tapi sekaligus malu-malu sehingga ditutupi topi warna-warni.

Kesederhanaan, cerminan lugas dari kejujuran, adalah sikap yang memberi inspirasi bagi yang mengenal dan mendendangkan lagu-lagunya. Kesederhanaan, sebagai cerminan keseharian tanpa banyak polesan, adalah sumbangan yang bisa menggugah kita. Apalagi di zaman ketika ketidakjujuran lebih diberi makna keberhasilan.

Pencapaian Mbah Surip mengingatkan hal ini karena Mbah Surip berhasil damai dengan dirinya, juga masyarakatnya. Ini yang masih kita gendong terus, ke mana-mana, tanpa menjadi beban. Sugeng tindak, Mbah.(*)

Arswendo Atmowiloto
Budayawan

(//mbs)

Tidak ada komentar: