Sabtu, 18 Juli 2009

Eskalasi Politik Terorisme 2009

Opini


Eskalasi Politik Terorisme 2009

Minggu, 19 Juli 2009 - 07:38 wib
text TEXT SIZE :
Share

TANGGAL 17 Juli 2009 merupakan titik hitam dalam sejarah keamanan Indonesia. Serangan teror di Hotel JW Marriott dan The Ritz Carlton memberikan tamparan keras kepada kewibawaan pemerintahan SBY yang dalam empat tahun terakhir berhasil meningkatkan stabilitas keamanan di Indonesia.

Tamparan keras terutama dirasakan karena teroris berhasil kembali menyerang dengan modus operandi yang relatif sama. Target serangan mereka tetap memadukan karakter soft target, high profile, dan high impact. Mereka tetap tidak menyerang fasilitas strategis negara. Mereka menyerang sasaran yang berkonotasi dengan kepentingan Amerika Serikat (AS). Mereka melakukan serangan di wilayah bisnis strategis yang memudahkan media massa untuk secara intensif meliput aksi teror.

Pemilihan target tersebut menandakan aksi ini ditujukan untuk melakukan teror dalam rangka teror. Serangan ini dilakukan untuk menyebar ketakutan di masyarakat. Serangan ini juga merupakan tantangan langsung ke instansi keamanan yang dalam empat tahun terakhir telah memburu pelaku-pelaku teror bahkan telah melakukan eksekusi mati kepada para gembong teroris.

Modus operandi teror cenderung tidak berubah karena mereka tetap menggunakan bom rakitan yang didetonasi dengan teknik bom bunuh diri. Ini menandakan bahwa kelompok teror tetap dapat melakukan rekrutmen anggota dan masih dapat melakukan proses radikalisasi secara efektif kepada anggota kelompoknya. Modus operandi ini juga menunjukkan bahwa mekanisme sel otonom tetap dipertahankan.

Kelompok teror yang menyerang Mega Kuningan merupakan kelompok taktis yang dapat secara otonom menentukan sasaran dan waktu penyerangan. Modus operandi yang relatif sama ini menandakan bahwa kelemahan utama strategi kontraterorisme Indonesia terletak pada mekanisme peringatan dini dan metode pencegahan teror. Namun, kelemahan ini juga dirasakan dinas intelijen Israel atau dinas intelijen AS. Untuk Indonesia, jika kita asumsikan pelaku teror berjumlah 200-600 orang, bisa dibayangkan betapa sulitnya dinas intelijen kita memburu mereka yang bisa dengan mudah berbaur dengan 210 juta penduduk lainnya.

Serangan 17 Juli 2009 juga menandakan adanya eskalasi politik ancaman teror di Indonesia. Eskalasi ini terjadi karena ada kecerobohan komunikasi politik Presiden SBY yang berupaya mengaitkan aksi teror dengan politik nasional. Saat Presiden SBY melakukan konferensi pers pada pukul 14.00 WIB, kita dikejutkan dengan kompleksitas ancaman teror. Sebelum jam 14, praduga akademik tentang aksi teror dirumuskan dengan melihat modus operandi seperti yang dijabarkan di atas.

Namun, saat Presiden SBY mengaitkan aksi teror dengan pemilu, perumusan praduga akademik menjadi lebih rumit karena ada variabel-variabel baru yang harus dipertimbangkan. Pertama, bagi SBY aksi teror terkait dengan keberadaan kelompok-kelompok politik yang tidak puas dengan hasil Pemilu 2009. Jika kita mengekspresikan secara eksplisit pernyataan SBY, kita bisa menyatakan bahwa SBY menduga ada elemen-elemen radikal di kelompok Mega-Pro, JK-Wiranto, atau kelompok golongan putih yang berketetapan menggunakan metode kekerasan untuk menolak hasil Pemilu 2009.

Kedua, bagi SBY aksi teror terkait dengan keselamatan dirinya sebagai kepala negara. Penggunaan secara demonstratif gambar latihan penembakan yang menggunakan foto SBY sebagai target menunjukkan tingginya kecemasan SBY dengan keselamatan dirinya. Secara tidak langsung SBY mengkhawatirkan kualitas pengamanan berlapis yang selama ini digelar oleh Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres).

Jika seorang presiden yang telah mendapat pengamanan berlapis memberi pernyataan publik bahwa ia cemas atas keselamatannya maka seluruh warga negara akan merasa tidak ada lagi perlindungan yang memadai yang dapat disediakan negara. Di sisi ini, pernyataan SBY memunculkan praduga akademis bahwa modus operandi teror telah bergeser dari penyerangan ke sasaran soft target menjadi hard target. Tiga, bagi SBY aksi teror terkait dengan kemunculan kelompok baru yang disebut sebagai "drakula politik". Kelompok ini terutama terdiri dari para pelaku kejahatan di masa lalu yang lolos dari jeratan hukum.

Dengan kata lain, SBY memunculkan praduga akademis bahwa impunitas memunculkan suatu kelompok yang terus menerus merencanakan aksi kekerasan agar kelompok ini dapat tetap lolos dari jeratan hukum. Tiga variabel tersebut cenderung menimbulkan kompleksitas yang tidak perlu yang akan mempersulit upaya kita untuk membongkar secara tuntas aksi teror di Indonesia.

Secara teoritik, kita bisa membuat praduga bahwa (1) ada empat kelompok yang mengancam stabilitas Indonesia, yaitu kelompok teror Noordin M Top, kelompok politik radikal, kelompok teror "hard target", dan kelompok "drakula politik"; (2) terbentuk satu "super-terorist" yang terdiri dari perwakilan seluruh elemen dari empat kelompok. Praduga akademik ini cenderung akan melemahkan strategi kontra-teror ini karena akan membuat aparat intelijen dan kepolisian kehilangan fokus utamanya.

Praduga akademik ini juga bisa berbahaya jika kemungkinan munculnya kelompok "superterorist" dijadikan justifikasi untuk menerapkan mekanisme-mekanisme khusus yang tidak demokratif dalam rangka stabilitas keamanan nasional. Saat ini, tantangan terbuka kelompok teror terhadap stabilitas keamanan Indonesia harus ditanggapi secara terukur. Pemerintah harus dapat kembali kepada fokus utama strategi kontra-teror dengan meletakkan kaitan-kaitan politik ke kotaknya masing-masing.

Ancaman-ancaman terhadap diri SBY dan Pemilu 2009 tidak bisa diabaikan, namun juga tidak boleh dicampuradukan dengan aksi teror yang sudah menebar rasa takut di masyarakat. SBY harus bisa secara rasional menunjukkan bahwa pemerintah akan kembali mampu menggelar strategi kontra-terorisme untuk membongkar jejaring teror. Pemerintah juga akan kembali secara terpisah menekankan solusi-solusi hukum untuk menyelesaikan konflik-konflik politik.

Pemerintah harus dapat mengembalikan ketenangan publik dengan tidak lagi melemparkan suatu kompleksitas keamanan yang meningkatkan sebaran rasa takut di masyarakat. Aksi teror ini telah berhasil secara signifikan kita tekan selama empat tahun terakhir. Dukungan masyarakat yang besar akan pemerintahan II SBY harus bisa dimanfaatkan untuk membongkar jejaring kelompok teror dalam lima tahun ke depan.(*)

ANDI WIDJAJANTO
Program Pascasarjana Intelijen Strategis, Universitas Indonesia

(//mbs)

Tidak ada komentar: