Sabtu, 17 Oktober 2009

'Checks and Balances' Bukan Cek dan Balas

umat, 16/10/2009 17:48 WIB
'Checks and Balances' Bukan Cek dan Balas

Reza Reynaldi - suaraPembaca
Jakarta - Dalam waktu dekat ini DPR akan melakukan legislatif review terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Aturan itu dikeluarkan karena Presiden menilai bahwa terdapat hal ikhwal kegentingan yang memaksa yang disebabkan karena tiga dari lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi tersangka maupun terdakwa kasus pidana sehingga menyebabkan kekosongan dalam formasi pimpinan KPK yang tentunya akan mempengaruhi kegiatan pemberantasan korupsi di tanah air.

Jika kemudian DPR menyetujui penambahan 2 (dua) pasal dalam perpu perubahan UU KPK, tentang kekosongan pimpinan, kewenangan menunjuk plt (penunjukan pelaksana tugas) sementara, dan masa jabatan sementara, apakah sudah menjawab pokok permasalahan yang terjadi? Salah satu pendekatan yang dapat kita gunakan untuk pertanyaan tersebut adalah melihat substansi konflik antar lembaga-lembaga negara terkait.

Konflik ini bermula dari penyadapan yang dilakukan oleh KPK terhadap Kabareskrim. Menurut KPK bahwa nomor ponsel Kabareskrim tidak sengaja masuk ke dalam penyadapan terhadap sejumlah nomor terkait dugaan kasus suap dalam penanganan kasus Bank Century.

Konflik ini kemudian diistilahkan oleh Kabareskrim dengan sebutan "Cicak Lawan Buaya" atau yang oleh Jaksa Agung disebut "Godzilla Lawan Cicak". Penganalogian tersebut menunjukkan bahwa seolah-olah posisi KPK berbeda tingkat dengan lembaga Kepolisian dan Kejaksaan.

Jika kita melihat staat fundamental norm kita kewenangan Kepolisian diatur dalam pasal 30 ayat 2,4, dan 5 UUD 1945 yang kemudian diperinci lebih lanjut dengan undang-undang tersendiri. Sedangkan KPK maupun Kejaksaan Agung tidak dikenal dalam konstitusi kita. Namun "hanya" termasuk dalam "badan-badan lain" menurut pasal 24 ayat 3 UUD 1945.

Apa yang harus dipahami dengan baik adalah bahwa ketiadaannya suatu nama KPK maupun Kejaksaan Agung dalam Undang-undang Dasar kita bukan lantas membuat posisinya berbeda tingkatan dengan lembaga Kepolisian. Hal ini didasarkan atas fungsi Kepolisian adalah merupakan fungsi eksekutif sehingga tidak dapat disejajarkan dengan lembaga "tinggi" negara seperti Presiden (dan Wakil Presiden), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Badan Pemeriksa Keuangan(BPK).

Selain itu KPK dan Kejaksaan Agung melalui "badan-badan lain" berdasarkan pasal 24 ayat 3 tersebut harus ditafsirkan memiliki, meminjam kata dari Jimly Assiddiqie, constitusional importance yang sama dengan Kepolisian. Kondisi ini membuat Kepolisian "terpaksa" ditempatkan sederajat dengan lembaga-lembaga negara lainnya yang fungsi dan pembentukkannya didasarkan dengan undang-undang. Dalam hal ini KPK dan Kejaksaan Agung.

Seolah tidak cukup sampai di situ. Sifat pembedaan hirarki oleh Kepolisian dan Kejaksaan ini kemudian bertransformasi menjadi sikap yang cenderung menjatuhkan KPK. Hal ini dapat terlihat dari sikap Kepolisian yang menjadikan dua pimpinan KPK tersebut sebagai tersangka berdasarkan testimoni maupun kesaksian Antazari Azhar. Walaupun yang bersangkutan telah membantah hal demikian. Dan bahkan, mantan ketua KPK tersebut mengatakan bahwa testimoni demikian merupakan "permintaan" pihak Kepolisian kepadanya.

Sikap untuk menjatukan sesama lembaga negara yang sama tingkatannya, oleh oknum tertentu dalam pihak Kepolisian maupun Kejaksaan, merupakan sikap yang tidak mencerminkan prinsip check and balance antara sesama lembaga negara dan lebih kepada "cek dan balas".

Prinsip check and balance sendiri merupakan perpanjangan tangan dari prinsip separation of power yang dipopulerkan oleh Montesquieu. Menurut dia, terdapat dua sifat manusia dalam hubungannya dengan kekuasaan. Pertama, bahwa orang akan senang akan kekuasaan apabila kekuasaan itu dipergunakan atau diperuntukkan bagi kepentingan dirinya sendiri maupun golongannya. Kedua, adalah ketika orang memiliki kekuasaan, ia senantiasa mempertahankan dan bahkan berkeinginan meluaskan serta memperbesar kekuasaannya.

Maka kemudian sarjana asal Perancis tersebut mengemukakan cara untuk mengusahakan suatu tatanan atau tata tertib negara untuk mencegah adanya suatu pemerintahan maupun lembaga negara yang kekuasaannya bersifat absolut melalui pemisahan mau pun pembagian kekuasaan agar kekuasaan negara, yang didapatkannya melalui kontrak sosial masyarakatnya, terbagi kedalam lembaga-lembaga negara demi mencegah adanya satu lembaga yang memegang kekuasaan yang superior dibandingkan lembaga negara lainnya.

Padahal jika kita merunut lebih jauh lagi pemikiran Montesquieu ini, sebagaimana halnya para pemikir zaman enlightenment lainnya, merupakan reaksi dari konstelasi politik kenegaraan zaman abad pertengahan di mana suatu golongan masyarakat menganggap diri mereka begitu istimewa dan berbeda dengan yang lainnya dan kemudian menyerahkan kekuasaan negara baik kepada raja dari golongan mereka atau pemimpin agamanya yang bersifat absolut.

Sifat istimewa atau pun superioritas yang kemudian bertransformasi menjadi sikap untuk menjatukan sesama lembaga negara pemegang kekuasaan yang sama tingkatannya. Seperti yang ditunjukkan baik Kepolisian maupun Kejaksaan merupakan sikap arogansi yang mencederai arti sesungguhnya dari separation of power lembaga-lembaga negara.

Sifat tersebut tidak akan hilang dengan disetujuinya perpu perubahan UU KPK yang disertai Keppres pengangkatan pimpinan KPK oleh DPR periode baru. Tidak ada jaminan bahwa plt sementara pimpinan KPK tidak akan diperlakukan sama seperti para pendahulunya ketika melakukan penyidikan di dua lembaga tersebut dalam rangka melakukan check and balance.

Tanpa kontemplasi diri dari pihak Kepolisian dan Kejaksaan maka prinsip separation of power tidak akan mencapai puncaknya sebagaimana yang dimaksud oleh Montesquieu. Paling tidak dalam hal pemberantasan korupsi di Indonesia.

Reza Reynaldi
reynaldirez@hotmail.com

Penulis adalah praktisi hukum di Sheila Salomo Law Office.

Tidak ada komentar: