Selasa, 13 Oktober 2009

Fiat Money dan Perampokan Negara

Selasa, 13/10/2009 17:51 WIB
Fiat Money dan Perampokan Negara
Dimas Bagus Wiranata Kusuma - suaraPembaca

Jakarta - Masih segar dalam ingatan kita betapa dasyatnya dampak krisis moneter yang dialami Indonesia pada tahun 1997/1998. Krisis yang tertransmisikan dari Thailand tersebut telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian.

Pada saat itu, secara makro tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot signifikan menjadi -13,7%, inflasi menembus 2 digit, tingkat bunga simpanan menembus level 58%, tingkat kemiskinan langsung meroket menembus 16,7% serta tingkat pengangguran mencapai 39,1% (BPS, 2000).

Sungguh ironis bilamana kita melihat dampak krisis moneter di atas. Ironis karena dampaknya dirasakan secara masal walaupun hingga kini kita merasa bukan sebagai penyebabnya. Memang krisis keuangan yang terjadi selama ini adalah bukan suatu kebetulan. Namun, ada skenario global yang mengaturnya dengan perantaraan suatu intrumen moneter.

Dengan demikian pengulangan krisis pada masa mendatang hanya akan dapat dicegah bila intrumen (sarana) pemicu krisis ini diamputasi sesegera mungkin. Intrumen pencipta dan pemicu krisis itu adalah "Fiat Money" atau sering dikenal dengan uang kertas dan coin.

Fiat Money adalah uang yang diterbitkan oleh pemerintah dan dilindungi oleh hukum suatu negara. Dalam perkembangannya fiat monet dipergunakan sebagai sarana pembayaran utang dan berbagai transaksi ekonomi. Baik domestik maupun internasional.

Namun demikian yang menjadi keresahan bersama berkenaan dengan fiat money adalah uang ini tidak memiliki nilai intrinsik selain harga bahan uang itu sendiri. Dengan kondisi demikian maka penerbitan uang ini tanpa didasari dengan jaminan akan kestabilannya di masa yang akan datang. Ketidakstabilan fiat money inilah yang menjadi akar dan sumber bencana finansial selama ini.

Dalam sistem moneter internasional akan suatu konsesi bahwa dalam transaksi internasional disyaratkan menggunakan mata uang yang merupakan hard currency. Seperti Dolar, Euro, Yen, dan Pound Sterling. Akan tetapi karena cadangan devisa kebanyakan negara di dunia adalah Dolar AS maka setiap transaksi dikonversikan ke dalam Dolar AS terlebih dahulu. Hal menarik yang perlu diperhatikan adalah apakah setiap dolar yang dikeluarkan benar-benar mencerminkan kondisi perekonomian yang sebenarnya.

Dalam beberapa buku ekonomi disebutkan bahwa dalam jangka panjang suatu perekonomian akan terjadi inflasi. Inflasi tersebut terjadi karena pertumbuhan jumlah uang tidak seimbang dengan pertumbuhan barang dan jasa dalam perekonomian.

Dalam teori ekonomi makro kita mengenal adanya business cycle atau siklus konjungtur ekonomi. Sesuai namanya maka akan ada masa suatu perekonomian booming dan resesi. Teori ini perlu kita pahami secara menyeluruh dan detail karena business cycle itu hanyalah buatan dan teori yang dibangun untuk merevitalisasi bangunan ekonomi segelintir pihak yang berkepentingan dalam alokasi sumber-sumber ekonomi.

Semisal, suatu perekonomian memiliki kapasitas faktor ekonomi sebesar 10%. Namun, hingga saat ini pencapaiannya masih 5%. Maka, pemerintah atau Bank Sentral selaku otoritas kebijakan memberikan stimulus fiskal atau moneter berupa kebijakan ekspansioner.

Kebijakan ekspansioner tersebut pada ujungnya berupaya bagaimana jumlah uang beredar meningkat dalam perekonomian sehingga diharapkan dapat memberikan stimulus dan geliat pada sektor-sektor ekonomi hingga mencapai batas maksimum kapasitas perekonomian (full employment). Dalam hal ini adalah 10%.

Sayangnya, laju perputaran fiat money ini tidak berhenti walaupun telah mencapai kapasitas maksimumnya sehingga jumlah barang yang dihasilkan tetap dan akhirnya menjadi timpang dan tertinggal dibanding pertumbuhan uang, yang kemudian perisitiwa ini dikenal dengan inflasi.

Pada masa inflasi harga barang membumbung tinggi karena tertekan oleh laju fiat money yang terus membesar. Dalam kondisi inflasi yang uncontrol ekspekstasi pelaku ekonomi akan masa depan perekonomian menjadi negatif karena daya beli masyarakat menurun yang juga secara otomatis dari sisi supply barang akan berangsur-ansur menurun. Perisitiwa ini bila berkelanjutan akan menciptakan staflasi, yaitu stagnasi perekonomian disertai inflasi yang tinggi.

Karena perekonomian Indonesia adalah terbuka maka mobilitas modal termasuk devisa berjalan cepat dan bebas. Para pelaku ekonomi akan merespon kondisi di atas dengan melakukan konversi mata uang kepada mata uang keras (hard currency) atau melakukan arbitrase agar nilai asetnya tidak bekurang. Arbitrase adalah melakukan konversi mata uang kepada mata uang lain yang memberikan keuntungan kurs. Secara otomatis mata uang Rupiah akan mengalami penurunan nilai terhadap mata uang mitra dagang.

Inilah awal daripada terjadinya "perampokan kekayaan negara" yang mungkin baru kita sadari. Apakah suatu keadilan bila bulan ini kita membeli minyak mentah 60 USD per barrel dan bulan depan dengan kuantitas yang sama harus membeli dengan 70 USD per barrel. Di manakah letak ketidakadilannya.

Ketidakadilannya adalah pada jumlah uang yang dikorbankan (rupiah) untuk membeli dolar. Untuk mendapat rupiah kita harus berdagang dengan barang lain. Artinya terjadi pertukaran. Namun, sebaliknya perubahan nilai Dolar AS bukan akibat pertukaran namun unsur spekulasi yang tidak didasarkan dengan apa pun (nothing).

Selisih perubahan Dolar itulah yang telah mengambil kekayaan suatu negara secara halal dan halus. Perkara ini telah terbukti dan dibuktikan pada kasus utang luar negeri Indonesia ketika krisis moneter tahun 1997/1998 terjadi. Waktu itu utang luar negeri Indonesia mayoritas dalam denominasi Dolar AS.

Berdasarkan data BPS jumlah Utang Indonesia per September 1997 mencapai 117,3 miliar Dolar AS dengan kurs Dolar terhadap Rupiah sebesar Rp 3,275 per Dolar AS. Akan tetapi pada Juni 1998 kurs Rupiah terhadap Dolar AS merosot dan menyentuh kisaran Rp 14,900 per dolar AS. Dengan demikian ada selisih kurs sebesar Rp 11,625 dengan jumlah utang yang sama.

Hal ini otomatis pemerintah atau negara membayar kewajiban hutang yang lebih besar dalam demoninasi Dolar karena harus mengorbankan Rp 11,625. Secara logika orang berhutang karena keterbatasan dana. Namun, apakah adil dan etis. Belum lagi dia melunasi beban utangnya telah meningkat sepuluh kali lipat tanpa dia pernah merasa berhutang dan menikmati harta itu. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Pada kondisi demikian maka negara berusaha menutup hutang dengan mengerahkan semua kapasitas ekonomi. Termasuk menggadaikan beberapa perusahaan negara kepada asing (privatisasi), menjual surat utang kepada pihak luar, dan bahkan mempersilahkan beberapa kontraktor asing untuk mengelola perekonomian nasional.

Sekadar informasi bahwa privatisasi di Indonesia telah menjadi tradisi dan kebutuhan. Berdasarkan sebuah sumber: Waspada Ledakan Privatisasi BUMN, mencatat bahwa selama periode 1991-2001, pemerintah Indonesia telah memprivatisasi 12 BUMN. Selama periode 2001-2006 privatisasi BUMN sebesar 10 BUMN, dan di awal tahun 2008, pemerintah kembali akan memprivatisasi 34 BUMN.

Geram rasanya bila melihat fenomena ini karena sungguh tragis sekaligus memalukan. Tentunya ini tak akan terjadi bila fiat money yang menjadi kebanggaan kita bersama merupakan uang komoditas yang memiliki jaminan dan nilai intrinsik.

Kritik terhadap fiat money pernah dikemukakan oleh Alan Greenspan dalam esai Gold and Economic Freedom, yang menyatakan, "This is shabby secret of the welfare statist tirades against gold. Deficit spending is simply a scheme for the confiscation of wealth. Gold stands in the way of this insidious process. It stands as a protector of property right".

Dalam kritiknya Greenspans dengan tegas mengatakan bahwa kebijakan defisit yang selama ini dilakukan oleh negara maju merupakan skema sederhana untuk pengambilalihan (confiscation) terhadap kekayaan, dan emas adalah pelindung terhadap hak milik suatu barang. Pernyataan di atas secara tegas mengkritik Amerika Serikat yang selama ini memiliki kebijakan defisit anggaran. Sehingga, pembiayaan defisit Amerika didanai dari hutang melalui penjualan surat utang Negara (Treasury Bills atau Treasury Bonds).

Oleh karenanya eksistensi perekonomian Amerika sebenarnya karena pembiayaan hutang tersebut. Hingga saat ini Amerika tercatat sebagai pengutang terbesar di dunia dengan hutang US$11,315 triliun per oktober 2008. Akan tetapi, AS terkesan tenang, karena bila terjadi default dia bisa dengan mudah mencetak mata uang baru (seignorage) atau meminta bantuan lembaga keuangan internasional (IMF).

Dalam menjaga eksistensi fiat money, baik dari segi kuantitas maupun efektivitasnya,
maka Amerika meminta bantuan IMF yang dibentuk pada tahun 1945. Memang lembaga ini, bertujuan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas moneter global. Akan tetapi, sebenarnya lembaga ini adalah kepanjangan tangan Amerika Serikat untuk menancapkan pengaruh sekaligus agen penghisap ekonomi negara lain.

Penghisapan melalui IMF ini secara detail diungkap dalam buku "The Confession of Economic Hitman". Memang Amerika memiliki agen khusus yang bertugas menjebak dan akhirnya secara sukarela menjadi "perahan" untuk menyediakan sumber-sumber ekonomi. Misalnya ada suatu Negara yang mengalami krisis, maka IMF, sebagai juru selamat datang untuk menawarkan beberapa bantuan dengan persyaratan tertentu.

Persyaratan itu adalah intrumen untuk memastikan bahwa negara tersebut dalam koridor kepentingan Amerika. Begitu juga dengan ADB (Asian Development Bank) yang membawa isu pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan. Namun, dibalik itu, ADB adalah kepanjangan tangan Amerika untuk mempengaruhi kebijakan suatu negara dalam pengentasan kemiskinan.

Menurut Amerika justru selama masih ada kemiskinan mereka dapat dengan mudah mengatur dan mengarahkan demi kepentingan mereka baik saat ini maupun mendatang. Oleh karenanya pengentasan kemiskinan oleh ADB hanyalah kedok untuk menjaga dan memelihara pemiskinan itu sendiri. Sehingga, IMF dan ADB banyak disebut sebagai antek Amerika karena sumber pemasukan dana terbesar mereka adalah Amerika.

Dari komposisi dana simpanan negara-negara di dunia Amerika menempati posisi pertama dengan jumlah saham hampir mencapai 20%. Dengan saham yang relatif besar ini maka mereka memiliki hak-hak istimewa. Seperti kemudahan dalam pengajuan bantuan, dan kemudahan dalam menyusupkan metode untuk setiap kebijakan anti kemiskinan dan stabilisasi moneter global.

Dengan demikian betapa semunya sebenarnya kekuatan Amerika dan negara-negara maju tersebut. Dengan hanya bermodalkan selembar kertas tak bernilai Amerika serikat telah meneguhkan hegemoninya dalam mengatur seluruh sistem kehidupan global dan berusaha berlindung dari setiap penderitaan negara-negara lain. Karena sesungguhnya, setiap krisis, inflasi (bencana financial), atau kemiskinan yang terjadi di dunia ini bukan terjadi secara alamiah.

Tetapi, karena didesain untuk sistem perekonomian raksasa berbasis fiat money. Sehingga, sudah sewajarnya bila dunia mulai memikirkan sistem moneter global yang berkeadilan berbasis komoditas, seperti dinar emas. Upaya ini juga sebagai alternatif sekaligus cara untuk meminimalkan dan menghentikan perampokan mereka terhadap kekayaan negara-negara secara halal dan halus. Sanggupkah kita bersama-sama memperjuangkannya. Insya Allah.

Dimas Bagus Wiranata Kusuma
dimas_economist@yahoo.com (+60-169026445)
Penulis adalah Kandidat Master of Economics International Islamic University Malaysia (IIUM), Direktur Humas Islamic Economic Forum for Indonesia Development (ISEFID) Kuala Lumpur .
(msh/msh)

Tidak ada komentar: