Selasa, 13 Oktober 2009

Kekayaan Alam dan Kemakmuran Negara

Selasa, 13/10/2009 09:49 WIB
Kekayaan Alam dan Kemakmuran Negara
Marcel Hizkia Susanto - suaraPembaca

Jakarta - Di mana-mana kita selalu mendengar bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam tak ternilai. Baik kesuburan tanah, pemandangan indah, barang-barang tambang, dan seterusnya. Hal tersebut adalah fakta.

Namun, semua langsung berpikir. Kekayaan alam tersebut adalah berkat. Ini yang harus diluruskan. Kekayaan alam bukanlah berkat per se. Sebagai buktinya negara-negara Afrika yang kaya akan berlian, emas, minyak, uranium, dan seterusnya sampai sekarang rakyatnya masih kelaparan.

Sementara Singapura dan Jepang yang tak memiliki kekayaan alam sama sekali jauh lebih makmur daripada negara-negara Afrika. Apa yang terjadi. Kita cenderung mencari kambing hitam. "Itu karena Kapitalisme. Itu karena Kolonialisme. Dan seterusnya." Apakah hal tersebut tepat. Mari kita analisa.

Pertama, Joe Stiglitz menyadari hal ini sebenarnya lebih berakar pada keserakahan. Dia memberikan ilustrasi sebagai berikut.

Bayangkan sebuah ruangan berisi 10 orang. Ketika ruangan tersebut cuma berisi sebuah meja 10 orang tersebut akan bekerja sama untuk mencari makan. Untuk memakmurkan diri mereka. Namun, ketika di atas meja tersebut ada setumpuk berlian 10 orang itu akan saling sikut, saling menjatuhkan agar bisa mengangkangi semua berlian. Klasik. Homo homini lupus. Manusia adalah serigala buat sesamanya.

Paul Collier menjelaskan banyak negara miskin tak bisa kaya karena terperangkap oleh konflik dan korupsi. Kekayaan alam menyuburkan kedua hal tersebut seperti bensin menyuburkan api. Tanpa pihak asing pun akan muncul penguasa-penguasa lokal yang tergiur akan uang yang bisa mereka peroleh bila mereka menguasai kekayaan alam tersebut.

Penguasa lokal yang korup akan bisa mengeruk uang lebih banyak daripada saat mereka korupsi di negara tanpa sumber daya alam. Pada gilirannya, uang haram tersebut bisa mereka gunakan untuk membiayai perang pribadi mereka atau usaha untuk membangun "jaringan" pribadi yang bisa mengamankan kekuasaan.

Jadi, Kolonialisme memang menyebabkan kemunduran di satu wilayah. Tapi, kita juga tak boleh lupa betapa "tokoh" lokal sering juga menyebabkan kerusakan serupa.

Kedua, seandainya negara kaya sumber daya alam tersebut tidak korup dan tidak terjebak konflik pun kekayaan alam masih bisa menjadi sumber bencana untuk mereka. Dalam ekonomi ini dikenal dengan nama "Penyakit Belanda."

Ketika Negeri Belanda menemukan cadangan gas bumi di lepas pantainya semua rakyatnya gembira. Namun, beberapa tahun kemudian mereka terbengong-bengong saat ekonomi mereka malah makin lesu dan semua angka indikator kemakmuran negara mereka menurun.

Mereka tak korup. Mereka juga tak terlibat perang maupun perang saudara. Apalagi kudeta. Ada apa. Ternyata masalahnya ada di nilai tukar mata uang mereka. Begitu Belanda memulai ekspor gas bumi devisa mengalir deras ke negara mereka.

Sesuai dengan hukum permintaan penawaran hal ini membuat mata uang Gulden menguat tajam. Hal ini otomatis meningkatkan ongkos produksi barang-barang buatan Belanda. Barang-barang buatan Belanda menjadi terlalu mahal ketika dijual di negara lain. Meningkatnya pemasukan dari sektor gas dibarengi dengan menurunnya sektor manufaktur hasil akhirnya: Belanda malah makin miskin.

Keduanya bisa diobati. Kekayaan alam bisa memperkaya sebuah negara. Untuk butir pertama, kita harus menjamin kuatnya stabilitas dan pengawasan hukum agar konflik dan korupsi bisa diminimalisir.

Mengatasi masalah kedua lebih sulit. Stiglitz mengusulkan: devisa negara tidak boleh dipakai untuk membiayai pembangunan jalanan di dalam negeri. Devisa negara cuma dimanfaatkan untuk mengimpor barang-barang yang mutlak dibutuhkan oleh rakyat negara tersebut untuk meminimalisir penguatan mata uang.

Namun, ini kan dunia politik. Pemimpin yang melakukan hal tersebut sulit populer. Rakyat akan terus meminta agar uang hasil penjualan kekayaan alam tersebut dimanfaatkan untuk membangun negara. Karena itu pendidikan terhadap masyarakat sangatlah krusial. Masyarakat harus tahu dampaknya bila negara menggunakan uang tersebut seperti menggunakan uang pajak rakyat.

Jadi sudah jelas. Kekayaan alam bukanlah berkat. Kekayaan alam barulah sebuah potensi yang netral. Tidak selalu positif. Tidak selalu negatif. Kekayaan alam harus bisa dikelola dengan baik. Barulah bisa memakmurkan rakyat negara pemiliknya. Menyalahkan Kolonialisme dan Kapitalisme secara terus menerus atas kemiskinan yang diderita negara-negara pemilik kekayaan alam tak akan produktif.

Kita tak boleh mengharapkan kemakmuran otomatis datang begitu kita memiliki sumber daya alam. Kita justru harus bekerja keras untuk mencerdaskan diri kita. Untuk mengawasi penggunaan uang hasil eksploitasi kekayaan alam tersebut, dan seterusnya.

Marcel Hizkia Susanto
Holzheimerstr. 4/4a Appt nr:115 Passau, Jerman
marcel_hizkia_susanto@yahoo.co.id
+49-(0160)3309815(msh/msh)

Tidak ada komentar: