Sabtu, 17 Oktober 2009

mat, 16/10/2009 10:01 WIB
Padamnya KPK dan Budaya Korupsi di Indonesia
Ali Mustofa - suaraPembaca



Jakarta - Setelah kebanjiran pujian dari berbagai pihak atas prestasinya dalam melakukan pemberantasan korupsi akhir-akhir ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalami hari-hari yang cukup berat. Setelah beberapa pimpinan dan oknumnya tersandung dengan kasus mereka masing-masing. Bahkan, kini sebagian dari mereka sudah meringkuk di sel tahanan.

Ditambah lagi perseteruan sengitnya dengan Polri. Hal ini melibatkan Kabareskim Susno Djuaji yang dilaporkan oleh tim pembela pimpinan KPK terlibat kasus suap dan penyalahgunakan wewenang ketika menetapkan kedua pimpinan KPK sebagai tersangka. Informasi terbaru Rabu, (7/10/09) menurut Inspektur Pengawasan Umum Polri ia tidak terlibat.

Adalah Antasari Azhar, mantan ketua KPK yang belum selesai masa tugasnya kini harus mendekam dibalik jeruji besi karena didakwa sebagai otak pembunuhan terhadap Nazaruddin Zulkarnaen, saingan cinta segi tiganya dengan rani. Koran negara tetangga Singapura, The Straits Times, menurunkan berita saat penetapan Antasari menjadi tersangka dengan judul setengah bertanya, "Love Triangle in Murder Case?"

Kasus kemudian menyeret pimpinan KPK lain yakni Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah dengan tuduhan menerima suap dari Direktur Utama PT Masaro, Anggoro Widjojo. Hal ini jelas-jelas merupakan pukulan telak bagi KPK. Berbagai analisis menyebutkan ini semua merupakan upaya-upaya untuk melemahkan lembaga ini.

Sempat mengalami tuntutan pembubaran dari beberapa pihak kini KPK mencoba untuk bangkit kembali. Hal ini ditandai dengan terpilihnya 3 anggota sementara pimpinan KPK pada hari Selasa, (06/10) di Istana Negara Jakarta. Sedangkan nama-nama yang menduduki jabatan tersebut adalah Waluyo (mantan direktur pencegahan KPK), dan dua nama lain yakni M Jasin dan Haryono Umar.

Setelah dilantik tiga anggota sementara pimpinan KPK ini langsung menggelar rapat dengan dua pimpinan KPK lainnya di Gedung KPK. Pada Rabu, 7 Oktober 2009 mereka kembali mengelar rapat guna memilih Ketua KPK di antara lima pimpinan KPK yang ada.

Mampukah KPK

Korupsi bagi Indonesia merupakan penyakit klasik yang tampaknya tidak kunjung terobati. Lebih parahnya lagi jika korupsi ini sudah dilegalkan melalui undang-undang. Sebenarnya kasus penanganan korupsi di negeri ini sudah diupayakan sejak dulu meskipun tidak segalak KPK pada masa kepemimpinan Antasari Ashar. Lembaga-lembaga semacam ini sudah sering dibentuk walaupun mungkin sekedar formalitas dan tidak leluasanya kewenangan hukum yang dimiliki.

Pada tahun 1970 saat Soeharto menjabat sebagai kepala negara pernah ada yang namanya "komisi empat" yang bertugas memberikan langkah-langkah strategis dan taktis kepada pemerintah. Pada tahun yang sama juga terbentuk KAK (Komisi Anti Korupsi) yang digawangi oleh para aktivis mahasiswa di era itu. Di antaranya Akbar Tandjung, Asmara Nababan cs. Sampai muncullah KPK untuk pertama kalinya di masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri.

Korupsi di negeri ini masih saja menggejala disebabkan korupsi ini adalah korupsi yang sistematis. Namun, solusi yang ditawarkan cuma sekedar dengan kelembagaan. Seharusnya penyelesainya harus secara sistematis.

KPK Cuma Pemburu

KPK ini hanyalah bertugas sebagai pemburu dan penangkap koruptor. Secara realitas memang tidak mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Bahkan, ada beberapa pihak yang masih kebal terhadap hukum (contoh: kasus yang melibatkan mantan menteri perikanan Rohmin Dahuri).

Oknum yang tertangkap pun hanya sebagian yang kemudian dipidanakan atau paling banter cuma divonis dengan sanksi yang sangat ringan. Ironisnya banyak pelaku korupsi yang sekarang bebas berkeliaran di luar negeri. Sistem pencegahan (preventif) dan sistem efek jera juga tidak berjalan. Padahal ini adalah faktor penting dalam pencegahan korupsi.

Semestinya juga berlaku sistem pencegahan dan efek jera. Di antara langkah utamanya ialah pengawasan yang serius. Pertama: pengawasan yang dilakukan oleh individu. Kedua, pengawasan dari kelompok, dan ketiga, pengawasan oleh negara.

Dengan sistem pengawasan ekstra ketat seperti ini tentunya akan membuat peluang terjadinya korupsi menjadi semakin kecil. Ditambah lagi dengan diberlakukannya sanksi pidana yang keras yang akan menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku.

Selain itu, sistem sanksi (berupa ta'zir) dalam Islam juga bertindak sebagai penebus dosa (jawabir), sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Ini yang tidak dimiliki oleh sistem yang diterapkan sekarang. Dan, semua itu bisa didapat pada Syariah Islam.

Syariah Islam Solusi

Bagi Indonesia yang mayoritas berpenduduk Muslim ini tidak punya pilihan lain kecuali dengan Syariah Islam. Apalagi jalan ini memang sudah terbukti ampuh menangani tindak pidana korupsi.

Selain yang disebutkan di atas Islam juga mempunyai langkah-langkah praktis lain. Seperti: sistem penggajian yang layak, larangan menerima suap dan hadiah, keteladanan pemimpin dan seterusnya, di mana semua ini telah praktekan oleh Rasul SAW dan para khalifah selama berabad-abad.

Allah SWT berfirman: "maka putuskanlah perkara mereka di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu" (terjemahan QS Al Maaidah: 48).

Syariah Islam merupakan harga mati bagi umat Islam yang menjadi rahmat untuk seluruh alam. Mari kita perjuangkan. Wallohu a'lam bi ash-shawab.

Ali Mustofa
Gang Nusa Indah Cemani Grogol
Sukoharjo Surakarta
alie_jawi@yahoo.com
02719272791

Tidak ada komentar: