Selasa, 13 Oktober 2009

Illegal Fishing Kejahatan Transnasional yang Dilupakan

Jumat, 09/10/2009 08:08 WIB
Illegal Fishing Kejahatan Transnasional yang Dilupakan
Arief Arfianto - suaraPembaca

Jakarta - Isu tentang global warming (pemanasan global), climate change (perubahan cuaca), drug trafficking (perdagangan obat terlarang), political violence out control (kekerasan politik) mendapat porsi yang cukup besar di media massa. Khususnya di Indonesia. Sebaliknya, masalah pencurian ikan (illegal fishing) tampaknya kurang mendapat porsi yang cukup memadai. Padahal, menurut data kerugian akibat dari aktivitas illegal fishing di seluruh dunia mencapai USD9 miliar per tahun.

Bagaimana dengan Indonesia. Menurut laporan Indonesia diperkirakan mengalami kerugian hingga USD2 miliar atau sekitar Rp 19 triliun per tahun. Dengan kata lain 22 persen produksi illegal fishing di seluruh dunia berasal dari Indonesia. Bahkan, menurut sumber lainnya menyebutkan kerugian Indonesia jauh lebih besar yakni antara Rp 30 - 40 triliun setiap tahunnya akibat illegal fishing tersebut.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17.500 pulau. Secara geografis hampir 70 persen (5,8 juta km persegi) wilayah Indonesia merupakan perairan dengan potensi kekayaan laut yang sangat potensial.

Menurut data sumber perikanan laut Indonesia diperkirakan mencapai 6.167.940 ton per tahunnya. Namun, akibat letak posisi silang Indonesia yang terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifik dan Hindia) menyebabkan wilayah Indonesia rawan terjadinya illegal fishing. Ada pun daerah yang menjadi titik rawan tersebut terletak di Laut Arafuru, Laut Natuna, sebelah Utara Sulawesi Utara (Samudra Pasifik), Selat Makassar, dan Barat Sumatera (Samudera Hindia).

Akar Masalah
Mengapa illegal fishing sejak tahun 1970-an sampai sekarang begitu marak terjadi di Indonesia dan sulit diberantas. Bahkan, ada kecenderungan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan modus operandi yang semakin beragam pula.

Hal ini disebabkan: Pertama, terdapatnya celah pada aturan (hukum) yang ada sehingga memberikan peluang bagi pelakunya untuk memasuki wilayah perairan Indonesia. Hal ini bisa dilihat pada Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 yang memungkinkan nelayan asing mempunyai kesempatan luas untuk mengeksploitasi sumber daya perikanan Indonesia. Khususnya di Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Pada pasal 29 ayat (1), misalnya, dinyatakan bahwa usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan, hanya boleh dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Namun, pada ayat (2), kecuali terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEE, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum intenasional.

Kedua, kurang tegasnya penanganan para pelaku illegal fishing. Hal ini bisa dilihat pada banyak kasus illegal fishing. Namun, para pelakunya dihukum ringan. Padahal berdasarkan pasal 85 jo pasal 101 UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan dinyatakan secara tegas bahwa pelaku illegal fishing dapat dikenai ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun.

Di samping itu adanya indikasi para aparat kurang serius dalam penanganan pelaku illegal fishing. Misalnya pada tahun 2007 terdapat 103 kasus tindak pidana di bidang perikanan dengan berbagai bentuk pelanggaran. Ironisnya hanya 77 kasus yang telah diajukan ke proses pengadilan sehingga menimbulkan kesan kurang profesionalnya para aparat dalam penanganannya.

Ketiga, pemerintah tidak pernah mengagendakan secara serius untuk mengatasi illegal fishing secara komprehensif. Sehingga, masalah yang menyangkut laut dan potensi yang dimilikinya tidak ditangani secara profesional.

Hal ini bisa dilihat pada kasus pelanggaran berupa operasi perizinan kapal. Misalnya kapal yang dilaporkan sebagai milik perusahaan Indonesia (7000 kapal). Namun, ternyata sekitar 70 persen atau 5.000 di antaranya lebih dimiliki oleh pihak asing. Terutama Taiwan, Filipina, Thailand, China. Sedangkan di wilayah Timur Indonesia dari 5.088 kapal yang beroperasi banyak di antaranya yang tidak memiliki izin.

Keempat, banyaknya oknum petugas yang terkait (sipil dan militer) menjadi backing para pelaku illegal fishing. Kasus pelepasan 181 nelayan Thailand di Pontianak, misalnya, padahal kasus tersebut belum ada proses hukumnya.

Kelima, kasus illegal fishing tidak mendapat tempat secara proporsional di media massa. Hal ini bisa dilihat kurangnya media massa mempublikasikan kasus illegal fishing sehingga masyarakat tidak mendapat informasi yang berimbang (balance).

Sebenarnya media massa dapat dijadikan alat penekan bagi pemerintah untuk lebih serius menanganinya. Sebagai gambaran kita bisa lihat pada periode November-Desember 2007. Mabes Polri telah menangkap 16 kapal penangkap ikan dan 20 warga asing pelaku illegal fishing di mana kerugian negara mencapai Rp 13 triliun. Ironisnya, media massa tidak memberi ruang yang memadai dalam memberitakannya.

Keenam, kurangnya koordinasi antar departemen yang terkait dalam mengatasi masalah yang menyangkut illegal fishing di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari tumpang tindihnya dalam penanganan antara Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perhubungan, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan Pemerintah Daerah.

Di samping itu, Indonesia tidak memaksimalkan kerja sama antar negara dalam mengatasi masalah illegal fishing. Terutama dalam menangani pelaku illegal fishing asal Filipina, Thailand, Taiwan, dan China. Akibatnya bila terjadi kasus illegal fishing pihak-pihak terkait saling melempar tanggung jawab.

Ketujuh, kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki dalam penanganan illegal fishing. Sampai tahun 2007 Indonesia hanya memiliki kapal pengawas sejumlah 16 buah. Dengan luas wilayah laut yang begitu besar seharusnya Indonesia membutuhkan paling sedikitnya 90 kapal untuk mengawasi perairan Indonesia. Hanya dengan begitu kasus illegal fishing yang tidak terkendali dapat diminimalkan.

Dampak dan Solusi
Tidak tertanganinya masalah illegal fishing secara proporsional oleh pemerintah menjadikan masalahnya menjadi komplek dan rumit seperti benang kusut. Kondisi ini pun dimanfaatkan pelaku illegal fishing dari negara lain. Sebagai gambaran bisa kita lihat Filipina yang merupakan negara mengekspor tuna terbesar di dunia.

Ironisnya 70 persen tuna yang mereka ekspor itu berasal dari Indonesia. Demikian pula dengan Thailand sebagai negara mengekspor ikan kaleng. Namun, banyak nara sumber meyakini bahwa ikannya juga berasal dari perairan Indonesia yang ditanggap secara ilegal. Di samping itu para pelaku illegal fishing menggunakan BBM bersubsisdi di mana kerugian negara akibat menggunakan BBM bersubsidi mencapai Rp500 miliar.

Untuk meminimalkan illegal fishing sudah saatnya pemerintah membuat UU Anti Illegal Fishing. UU Nomor 31 tahun 2004 pasal 29 dan 30 tentang Perikanan kurang memperhatikan nasib nelayan dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan sumber daya laut. Bahkan, UU tersebut memberi kesempatan sangat besar kepada pihak asing, mengeksploitasi sumber daya ikan di perairan Indonesia, khususnya ZEEI (Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia).

Demikian pula pelaksanaan Permen No 17 tentang Penangkapan Ikan Berbasis Industri harus dilaksanakan secara konsekuen untuk melindungi hasil laut, melindungi nelayan tradisional, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan negara dari devisa dan pajak. Mempercepat terbentuknya pengadilan perikanan yang berwenang menentukan, menyelidiki, dan memutuskan tindak pidana setiap kasus illegal fishing dengan tidak melakukan tebang pilih.

Dari gambaran di atas kita bisa melihat bagaimana potensi laut Indonesia tidak dikelola secara bijaksana yang mengakibatkan kerugian dari kasus illegal fishing. Ironisnya, pemerintah masih menutup mata terhadap dampak yang ditimbulkan. Hal ini bukan saja berimplikasi pada ekonomi berupa kurangnya pendapatan (devisa) negara dari hasil perikanan yang mencapai triliunan rupiah. Tetapi, juga dapat merusak ekosistem laut. Termasuk terumbu karang.

Menurut Ministry of State of Environment luas trumbu karang Indonesia yang telah mengalami kerusakan mencapai 61 persen dan 15 persen dikategorikan sudah kritis. Untuk itu perlu adanya political will dari pemerintah dalam penanganan dan pengelolaan kekayaan laut secara bijaksana yang tetap berpihak kepada lingkungan dan masyarakat Indonesia secara luas.

Arief Arfianto
http://indonesiamoslemblogger.blogspot.com
Surabaya
areyix@yahoo.com
081553635744(msh/msh)

Tidak ada komentar: