Kamis, 15 Oktober 2009

Politisi Kehilangan Nyali

Kamis, 15/10/2009 09:54 WIB
Oposisi
Muhammad Takdir - suaraPembaca

Jakarta - Indonesia itu aneh. Hampir semua orang ingin jadi menteri. Terutama para politisi.
Entah mereka yang berasal dari partai yang sudah capek malang melintang sampai partai anyar sekali pun. Begitu pemilu selesai mereka berlomba duduk di samping telepon rumah atau tidak lepas dari mobile phone. Berharap sang pemenang pemilu menelepon mereka dan meminta masuk dalam kabinet.
Tidak ada yang berminat menjadi oposisi. Kata mereka oposisi itu nista. Paling tidak mungkin itu yang ada dalam pikiran para politisi itu.
Terus terang kecenderungan itu memuakkan. Terutama jika kemudian kita membungkus keengganan beroposisi itu dengan argumentasi kultural. Bahwa Indonesia tidak mengenal budaya oposisi. Budaya itu adalah budaya barat.
Padahal jika semua orang berpikiran bening --dengan suatu konten dan konsep jelas, pasti menghendaki check and balance dalam setiap sistem politik apa pun. Tetapi, kebiasaan di Indonesia memperlakukan sebaliknya. Pilihan oposisi itu tidak lazim.
Sikap tersebut dinista dan jadi barang haram jadah. Hampir tak seorang pun dan tak satu partai pun bersedia menjadi oposisi. Karena, semua berharap masuk dalam kekuasaan dan menikmati privilege atau comfort zone yang ditawarkan.
Tidak juga PKS yang dahulu saya harapkan akan memprakarsai contoh yang baik untuk menjadi oposisi yang santun. Bukan asal gebrak.
Oposisi sesungguhnya adalah investasi politik untuk jangka panjang. Kalau dunia politik digunakan buat mencari jabatan atau kekuasaan tentu itu pilihan yang yang riskan. Tokoh-tokoh di Indonesia biasanya tidak senang sama yang vokal.
Oposisi selama ini selalu diidentikkan dengan perlawanan, Disimbolkan dengan jempol darah, pemukulan, penistaan nama baik, pembakaran kantor partai, pengrusakan, pemotongan pohon-pohon di jalan, penokohan brutus-brutus baru, dan lain sebagainya dalam dinamika partai politik kita di tanah air.
Satu-satunya harapan yang bisa kita sandarkan pada para politisi itu untuk mereduksi deviasi-deviasi itu adalah kebesaran hati mereka untuk menanamkan pikiran-pikiran jernih dan konsep-konsep politik yang diabdikan pada kehidupan demokrasi yang benar-benar puritan dan steril.
Mendemonstrasikan sikap-sikap politik keseharian yang baik dan konsisten dengan standar moralitas politik kepada generasi pemangku partai berikutnya tentu jauh lebih efektif daripada menciptakan slogal-slogan kosong tanpa makna. Kita ingin mereka dapat menuntun rakyat kita membangun model yang baik bagi masa depan demokrasi indonesia.
Tokoh seperti Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Megawati, Gus Dur, SBY, atau Amien, dan siapa pun bisa memulai contoh-contoh mulia itu dari cara-cara mereka menangani dinamika partai politik masing-masing.
Hal paling buruk yang pasti tidak kita inginkan terjadi adalah sikap mempertahankan kontrol dan kekuasaan partai dengan "mematikan" seruan-seruan perubahan yang tumbuh di dalam. Membiarkan kultur oposisi tumbuh dalam tata kehidupan berkebangsaan dan bernegara kita rasanya sulit terwujud.
Drama seperti itulah yang kini sedikit demi sedikit tersibak di partai-partai tertentu paska euphoria reformasi. Sikap tokoh politik semacam itu harganya mahal. Bisa-bisa cara penanganan yang serampangan di partai berpindah ke bentuk lain dalam pengelolaan negara.
Ibarat sederhananya, mengelola partai, paling tidak, samalah dengan mengelola negara. Sikap kita yang toleran terhadap oposisi betapa pun pahitnya merupakan fondasi paling krusial dalam kehidupan demokrasi indonesia. Apalagi di bawah kepemimpinan Presiden SBY dan Wakil Presiden JK yang sebentar lagi lengser.
Indonesia mungkin kini dilihat orang luar secara lebih antusias. Saya ingat ucapan mendiang Eki Syachrudin, politisi senior dan mantan anggota dewan penasehat Golkar yang sering dilontarkan kepada saya ketika berdiskusi mengenai iklim politik domestik di Indonesia.
Katanya, kita mesti tekun membangun budaya oposisi sedari sekarang jika Indonesia ingin maju dan sejajar dengan negara-negara berperadaban tinggi lainnya. Katanya lagi, "Tuhan saja memberikan kesempatan kepada iblis sepanjang hayatnya untuk menjadi oposisi terhadap kekuasaan-Nya!"
Nah, kalau sudah begitu, lalu apa yang membuat kita merasa lebih besar dari Tuhan dengan tidak memperbolehkan oposisi tumbuh terhadap ketokohan mau pun kepemimpinan orang-orang di antara kita. Termasuk kepada para politisi yang justru sudah kehilangan nyali.
Muhammad Takdir
Hutweidengasse 46/1/16 Wina Austria
muh_takdir@yahoo.co.id
+43 676 974 7523
Penulis adalah pengamat politik. Tinggal di Wina Austria.

Tidak ada komentar: