Kamis, 15 Oktober 2009

Nobel Obama dan Islam Indonesia

Opini
Kamis, 15 Oktober 2009 - 14:03 wib
Salah satu poin yang menyebabkan Obama mendapat Nobel Perdamaian adalah niatnya berdialog dan membangun persahabatan dengan dunia Islam.
Niat Obama ini terefleksi, misalnya, dalam pidato kunjungan ke Mesir, 4 Juni 2009. Di Kairo Obama menyatakan bahwa dunia Islam amat penting peranannya dalam membangun peradaban dunia modern seperti yang terjadi saat ini.
Dalam pidato di Mesir itu Obama berkata, "I know civilization's debt to Islam. It was Islam that carried the light of learning through so many centuries, paving the way for Europe's Renaissance and Enlightenment. It was innovation in muslim communities that developed the order of algebra; our magnetic compass and tools of navigation; our mastery of pens and printing; our understanding of how disease spreads and how it can be healed. Islamic culture has given us majestic arches and soaring spires; timeless poetry and cherished music; elegant calligraphy and places of peaceful contemplation. And throughout history, Islam has demonstrated through words and deeds the possibilities of religious tolerance and racial equality."
Dalam pidato di atas terlihat jelas bahwa Obama mengakui sumbangan Islam yang besar pada ilmu pengetahuan, seni, toleransi beragama, dan persamaan ras. Semua itu menurutnya merupakan landasan pokok untuk membangun masyarakat modern. Dalam berbagai pidato di tengah komunitas Islam, baik di AS maupun di negara lain, Obama juga sering menyatakan bahwa dunia Islam dengan kebesaran para pemikirnya telah memberikan kontribusi yang amat berharga bagi demokrasi dan toleransi antaragama dan warna kulit.
Seperti diungkapkan sosiolog Robert N Bellah dari AS, Piagam Madina yang digagas Muhammad merupakan piagam pertama di dunia yang menjunjung tinggi demokrasi dan pluralisme. Piagam Madina, tulis Bellah, sangat maju pada zamannya, sehingga dunia Barat saat itu belum mengerti makna penting dari piagam tersebut. Lebih dari itu, jauh sebelum benih demokrasi tumbuh di Barat, Alquran juga sudah mengenalkan kata musyawarah yang,kata ulama besar Yusuf Qardhawi, merupakan prinsip dasar dalam membangun demokrasi.
Agama dan Negara
Bagi masyarakat modern Barat, Islam adalah agama paling menarik. Meski mempunyai sejarah emas dalam membangun peradaban modern di masa lalu, Islam telah lama mendapat stigma "buram" karena pelbagai kasus terorisme, khususnya setelah tragedi penghancuran menara kembar World Trade Center, 11 September 2001 di New York, AS.
Walau demikian, Islam tetap menjadi inspirasi dalam membangun kehidupan sosial, ekonomi, bahkan kenegaraan di sebagian besar negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Berbeda dengan Islam, Kristen- agama yang dianut sebagian besar dunia Barat-justru "terpisah" dengan pembangunan sistem politik, ekonomi, maupun kenegaraan. Konstitusi negara-negara Barat hampir semuanya memisahkan antara kehidupan negara dan agama. Itulah sebabnya, di negara-negara Barat tidak ada Departemen Agama.
Agama di Barat bukan urusan negara, tapi masyarakat. Kenapa hal itu terjadi? Amerika Serikat-ikon Dunia Barat- mempunyai sejarah yang kelam dengan agama. Nenek moyang bangsa AS adalah orang-orang Eropa, khususnya Inggris yang "lari" dari negaranya karena terancam perang antaragama atau tertindas oleh kekejaman rezim-rezim agama di Eropa pada abad pertengahan. Sejarah mencatat, peperangan antara kaum Protestan dan Katolik di Eropa menimbulkan korban jutaan orang. Rezim-rezim agama di Eropa juga sangat otoriter karena agama menjadi "alat" bagi penguasa untuk menghukum pihak-pihak yang menentangnya.
Dalam kondisi itulah orang-orang Eropa yang ingin terbebas dari "kekejaman agama" pergi mencari tanah baru yang lebih menjanjikan masa depannya. Salah satu tanah baru itu adalah AS. Itulah sebabnya, dalam konstitusi AS kebebasan dan kemerdekaan berpendapat menjadi poin paling penting dalam undang-undang dasar yang menjadi landasan berdirinya negara tersebut. Kondisi ini berbeda dengan Indonesia dan sebagian besar negara-negara berpenduduk Islam di dunia.
Kalau AS dibentuk oleh para "migran" yang ingin bebas dari tekanan agama, di Indonesia dan negara-negara berkembang lain berpenduduk mayoritas Islam yang terjadi sebaliknya. Indonesia terbentuk, salah satunya, karena perlawanan umat Islam yang sangat keras terhadap rezim kolonial. Perlawanan itu dilandasi ajaran Islam yang menghendaki terwujudnya keadilan sosial dan ekonomi di masyarakat secara menyeluruh.
Dari perspektif itulah kita melihat keberadaan Departemen Agama. Departemen ini hasil kompromi dan kompensasi dari negara atas keterlibatan kaum agama, khususnya Islam, dalam membentuk negara Indonesia. Ini jelas berbeda dengan AS.Di sana justru dibentuk oleh orang-orang "pelarian" dari Eropa Barat yang menghendaki kebebasan dari tekanan rezim agama. Itulah sebabnya, AS curiga terhadap campur tangan agama dalam negara seperti terefleksi jika ada departemen agama.
Perbedaan pandangan tersebut menimbulkan implikasi yang jauh pada sikap AS terhadap dunia Islam. Hampir semua komponen masyarakat di AS melihat Islam di dunia dari kacamata mereka sendiri. Huntington, ilmuwan sosialpolitik dari Universitas Harvard, misalnya, menulis di dalam The Clash of Civilizations, bahwa musuh demokrasi selain komunisme adalah Islam. Karena itu, kata Huntington, setelah rezim komunis runtuh, musuh demokrasi adalah Islam. Tiga negara yang mendapat predikat poros setan (axis of evil) dari mantan Presiden AS George W Bush, dua di antaranya adalah negara Islam (Iran dan Irak).
Kini AS dipimpin Barack Husein Obama-warga negara AS keturunan Afrika yang beragama Islam. Meskipun Obama seorang penganut Kristen, karena keterikatannya dengan "Islam" niscaya mempunyai pengertian yang lebih "matang dan dewasa" terhadap Islam ketimbang presiden-presiden AS sebelum. Ajakan Obama untuk melakukan dialog konstruktif dan memahami satu sama lain antara dunia Barat dan Islam jelas merupakan suatu perubahan besar yang akan mengubah pandangan dunia Barat terhadap Islam.
Memandang dengan Jernih
Terlepas dari kontroversi pantas tidaknya Obama mendapatkan Nobel Perdamaian, ajakannya untuk melihat dunia dari pandangan mayoritas penduduk dunia, juga perlu mendapatkan apresiasi yang besar. Selama ini sering terjadi pandangan mayoritas dunia terkalahkan oleh pandangan sempit AS. Sedangkan Obama, kata Komite Nobel, melakukan sebaliknya.
"Diplomasi Obama dilandasi oleh prinsip bahwa mereka yang akan memimpin dunia harus melakukannya dengan dasar nilai dan sikap yang didukung mayoritas penduduk dunia," ungkap Komite Nobel. Lantas bagaimana sikap Indonesia untuk merespons prakarsa Obama tersebut? Jika Obama mengajak dunia Barat meninggalkan pandangannya yang sepihak terhadap Islam, siapkah masyarakat Islam, khususnya di Indonesia, meninggalkan pandangannya yang sepihak terhadap umat beragama lain?
Dunia berharap umat Islam Indonesia tidak mengambil keuntungan dari aspek kuantitasnya dalam melihat umat beragama lain (tirani mayoritas) sebagai mana halnya Obama yang berjanji untuk tidak memanfaatkan aspek keadidayaannya dalam melihat Islam. Jika hal itu terjadi, umat beragama akan bersatu dan akan bisa membangun dunia yang adil, sejahtera, dan tanpa senjata pemusnah (nuklir).
Ke depan, jika seluruh manusia telah menjadi ummatan wahidah, niscaya umat beragama akan memilih pendalaman spiritualitas, ketimbang ekstensivitas agama masing-masing. Dialog dan saling pengertian antarumat beragama juga akan terwujud. Dari poin inilah tampaknya prakarsa Obama sangat bagus, sehingga mengantarkannya sebagai penerima Nobel Perdamaian 2009.(*)
M Bambang Pranowo
Guru Besar Sosiologi Agama UIN Jakarta

Tidak ada komentar: