Selasa, 13 Oktober 2009

Menyoal DPR

Senin, 12/10/2009 09:14 WIB
Menyoal DPR
Sholehudin A Aziz MA - suaraPembaca

Jakarta - Komposisi para anggota dewan selain dihiasai oleh para tokoh dan fungsionaris partai, mantan anggota DPR, akademisi, juga disemarakkan kehadiran figur-figur publik, dan para selebriti nasional alias artis yang sedari awal memang diprediksi banyak pihak akan meraih sukses. Berdasarkan analisa penulis faktor kemenangan para caleg yang mendapatkan suara terbanyak dan dipastikan akan menjadi anggota legislatif 2009-2014 ditentukan oleh beberapa hal. Di antaranya adalah:

Pertama, investasi politik dan citra. Mayoritas para caleg terpilih ini adalah mereka yang berasal dari kalangan partai. Mereka memiliki track record dan pengalaman panjang dalam dunia politik sehingga mudah memaksimalkan roda mesin partai untuk meraih simpati masyarakat. Selain itu mereka juga memiliki pencitraan diri yang cukup bagus sehingga masyarakat kembali melabuhkan pilihannya kepada mereka.

Kedua, memiliki basis kuat di masyarakat bawah (tingkat grass root). Bagi mereka yang masih baru dalam dunia politik maka faktor kepemilikan basis yang kuat di masyarakat mutlak dimiliki. Kedekatan emosional dan kultural dengan para konsituennya menjadi jaminan keterpilihan mereka.

Para caleg dari kalangan ulama, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan caleg asli putera daerah menjadi contohnya. Mereka lebih mudah meraih simpati publik karena mereka benar-benar eksis dan berjuang secara langsung bersama masyarakat. Jadi wajar bila mereka terpilih untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat sekitarnya.

Ketiga, kepopuleran. Faktor ini identik dengan kesuksesan para caleg artis yang benar-benar mengandalkan popularitas keartisan mereka. Semua ini terjadi karena masyarakat benar-benar terbatas aksesnya atas kualifikasi dan kualitas sebenarnya dari sederetan nama caleg yang diajukan partai-partai politik. Daripada pusing-pusing, artislah yang dipilihnya karena mereka memang begitu akrab (familiar) dan dikenal dengan baik oleh mereka melalui tayangan-tayangan media massa.

Keempat, keberuntungan. Selain caleg yang dari sedari awal memiliki perencanaan dan metode pemenangan yang dirancang dengan baik, terdapat juga caleg yang hanya mengandalkan keberuntungan semata. Mereka tidak memiliki tim sukses, apalagi dana khusus. Namun, akhirnya mereka pun lolos juga. Jadi jangan heran bila beberapa caleg ketiban durian runtuh di siang bolong. Hanya bermodal 5 juta mereka akhirnya meraih kursi terhormat sebagai anggota dewan.

Di tengah euforia kesuksesan para caleg terpilih menuju kursi dewan legislatif yang terhormat, terbersit nada-nada kekhawatiran beberapa pihak terhadap kualitas mereka. Faktor pengalaman, penguasaan atas masalah (core competency), kualitas kemampuan, dan kematangan berpolitik menjadi pertanyaan yang cukup serius. Apalagi tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada mereka sungguh besar.

Bila ini benar-benar terjadi maka keadaan ini dikhawatirkan justru akan membuat demokrasi di Indonesia kian elitis dan semakin memperlebar jarak antara rakyat dengan partai politik. Hal ini disebabkan oleh kurang mampunya para politisi di DPR menyerap aspirasi dan menyahuti kebutuhan masyarakat.

Harus diakui, penetapan suara terbanyak memang menimbulkan banyak risiko. Di antaranya adalah munculnya sorotan bahwa demokrasi saat ini adalah demokrasi untuk orang terkenal, banyak uang, penguasa, elitis, dan artis yang tidak pernah bicara soal substansi. Namun, toh akhirnya mereka dipilih oleh masyarakat.

Tanggung jawab menjadi anggota dewan tidaklah mudah. Ia harus mampu melaksanakan fungsi-fungsi yang dimiliki DPR yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan. Melihat beban berat yang harus dipikul oleh seluruh anggota dewan maka sewajarnyalah bila banyak pihak yang menuntut keseriusan mereka dalam bekerja. Apa jadinya negara ini bila kualitas anggota DPR kelak tidak seperti yang kita harapkan bersama.

Menurut penulis, dalam rangka mengantisipasi dan meningkatkan kualitas para anggota legislatif terpilih ini maka terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan. Di antaranya adalah:

Pertama, memberikan pembekalan bagi para anggota dewan terpilih tentang seluruh tugas, tanggung jawab, dan hak-hak yang dimilikinya. Hal ini penting untuk memperdalam dan meningkatkan peran strategis mereka.

Kedua, menyodorkan kontrak politik kepada mereka untuk berjanji tidak melakukan segala bentuk perbuatan yang melanggar hukum seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Banyak sekali anggota DPR sebelumnya yang melanggar komitmen tersebut dan akhirnya masuk bui penjara.

Ketiga, menuntut keseriusan mereka dalam bekerja dengan mengikuiti seluruh regulasi dan kebijakan dewan. Bila perlu meninggalkan secara penuh aktivitas di luar dewan. Hal ini penting untuk memaksimalkan kinerja dewan yang sering kali dipertanyakan.

Ketiga komitmen yang perlu diminta kepada para anggota dewan terpilih ini sangatlah wajar. Karena selama ini (menurut beberapa sumber) terdapat empat (4) tipe anggota dewan. Pertama, anggota yang vokal, kreatif, idealis, dan dinamis (10%). Kedua, mereka yang banyak mengeluarkan pernyataan namun tidak didukung dengan data dan analisa (50%). Ketiga, kelompok 4D, yakni datang, duduk, dengar, dan duit (30%). Dan, keempat, kelompok pemalas yang hanya sering kali bolos dan mengikuti sidang beberapa kali dalam setahun (10%).

Penulis berharap, semoga semua kekurangan dari anggota dewan periode sebelumnya benar-benar menjadi pelajaran berharga dan cambuk bagi perbaikan kinerja dan kualitas anggota dewan periode 2009-2014 ini. Tak ada harapan yang diinginkan kecuali bersama-sama mengawal bangsa ini bersama eksekutif dan Yudikatif menuju Indonesia yang lebih baik, bermartabat, dan sejahtera.

Kepada seluruh anggota dewan terpilih selamat bekerja. Berikan yang terbaik untuk bangsa ini.

Sholehudin A Aziz MA
Jl Al-Ikhlas 6 B2A 11
Bumi Sawangan Indah 2 Depok
bkumbara@yahoo.com
081310758534
Penulis adalah peneliti CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.(msh/msh)

Tidak ada komentar: