Selasa, 13 Oktober 2009

enguatan Rupiah Berkah Atau Bencana

Kamis, 08/10/2009 11:59 WIB
Penguatan Rupiah Berkah Atau Bencana
Dimas Bagus Wiranata Kusuma - suaraPembaca

Jakarta - Akhir-akhir ini media massa tanah air memberitakan bahwa mata uang rupiah mengalami penguatan hingga mendekati level Rp 9,300 per Dolar AS. Penguatan rupiah juga disusul dengan peningkatan cadangan devisa Indonesia melebihi 60 miliar USD.

Fenomena apresiasi rupiah memang menjadi fenomena moneter dan menarik dijadikan bahan diskusi. Setidaknya ada dua hal yang menarik untuk dikaji terkait penguatan rupiah ini yaitu apakah penguatan rupiah adalah cerminan fundamental ekonomi Indonesia. Atau penguatan ini hanya tren pasar yang sekedar ingin mencari keuntungan jangka pendek.

Penguatan atau pelemahan merupakan fenomena pasar yang pasti terjadi. Hal ini menjadi fenomena moneter mengingat Bank Indonesia selaku otoritas moneter telah mengumumkan bahwa fluktuasi rupiah sepenuhnya dipengaruhi oleh emosi pasar (pasar).

Gonjang-ganjingnya rupiah sangatlah bergantung pada stabilitas ekonomi. Baik tingkat domestik maupun internasional. Dalam konteks penguatan rupiah saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh sentimen luar negeri.

Masuknya arus dana asing ke Indonesia memicu permintaan rupiah yang cukup tinggi sehingga penguatan rupiah tak terbendung. Pengkajian fenomena penguatan atau apresiasi rupiah saat ini dapat dilihat dari beberapa faktor.

Pertama, penguatan rupiah karena ekspektasi mengenai masa depan ekonomi Indonesia yang dipandang positif oleh pengamat. Ekspektasi ini dikuatkan dengan penyataan sikap Bank Indonesia yang menaikkan tingkat pertumbuhan Indonesia dari sekitar 3% menjadi 4,5%.

Tentunya, kenaikan target pertumbuhan ini mencerminkan adanya harapan yang baik akan perkembangan perekonomian Indonesia mendatang. Selain itu ekspekstasi ini disebabkan karena semakin baiknya perkembangan beberapa variabel makro Indonesia.

Sebagaimana diketahui variabel makro mencerminkan secara aggregatif sekaligus mendokumentasikan pencapaian perekonomian suatu negara. Per Oktober 2009 tingkat inflasi berada pada kisaran 2-4%. BI rate sebagai suku bunga acuan berkisar pada 6,5%, serta cadangan devisa di atas 60 miliar USD.

Dengan kondisi demikian maka investor memandang bahwa Indonesia berada dalam kondisi best performance dan memiliki kredibilitas dalam setiap gerak perekonomian. Sehingga, menjadi tempat yang aman dan menarik untuk berinvestasi.

Kedua, penguatan rupiah karena imbal hasil asset rupiah dibanding asset asing dinilai lebih menarik. Dengan asumsi adanya mobilitas modal yang sempurna antar negara serta tingkat bunga dunia sama dengan tingkat bunga domestik. Maka, modal asing akan mencari tingkat keuntungan yang maksimal.

Modal asing akan mencari tempat investasi yang memiliki tingkat pengembalian (return) yang paling menguntungkan. Memang tak dapat dipungkiri Indonesia dipandang sebagai tempat yang paling menguntungkan bersandar pada perbedaan tingkat bunga acuan the fed yang berada di bawah 2 persen. Sedangkan tingkat acuan BI dalam kisaran 6-7% sehingga engan spread atau marjin 4-5% persen sangatlah menjanjikan. Menariknya imbal hasil asset domestic ditandai pula oleh naiknya IHSG ke level di atas 2500 per Oktober 2009.

Ketiga, penguatan rupiah tak lepas karena stabilitas dan kepercayaan akan stabilitas politik nasional. Dunia internasional menaruh kepercayaan yang tinggi kepada pemerintah mendatang mengingat ketokohan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan kepakaran Budiono dipandang dapat menentramkan dan menjaga emosi pasar pada posisi yang stabil.

Apalagi dunia telah menilai positif akan demokrasi di Indonesia yang sarat dengan kedamaian dan pertikaian. Dengan demikian banyak kalangan masih percaya bahwa antara ekonomi dan politik ibarat dua bagian mata uang yang tak terpisahkan dan akan saling mendukung satu dengan lainnya.

Namun demikian penguatan rupiah akibat sektor makro sangatlah berbahaya bagi perekonomian dalam jangka panjang. Bagaimana pun juga perkembangan sektor makro harus dapat tertransmisikan ke sektor mikro. Sektor mikro adalah sektor inti sekaligus penopang perekonomian yang sebenarnya.

Sebagaimana diketahui sektor makro memberikan informasi yang sempurna mengenai kondisi perekonomian melalui identifikasi variable makro. Perkembangan positif pada variable makro akan menarik aliran dana yang kemudian masuk ke dalam sendi-sendi perekonomian. Tentunya dalam perekonomian terdapat banyak sektor-sektor riil yang menyerap tenaga kerja dan penyediaan supply barang dan jasa. Sehingga, bila dana yang beredar pada sekto makro dapat menstimulasi dan mengakomodasi perkembangan sektor mikro (riil).

Maka akan ada sirkulasi ekonomi yang pada akhirnya menciptakan pemerataan sumber ekonomi dan pertumbuhan ekonomi. Dan, sebaliknya bila sektor makro berkembang terlalu cepat dan tidak diimbangi dengan perbaikan sektor mikro. Maka bubble ekonomi terjadi dan rawan akan terjadinya krisis bila terjadi perbalikan dana/ modal asing (capital reversal).

Dalam kondisi krisis terjadi inflasi yang tak terkendali depresiasi rupiah serta kenaikan tingkat bunga dalam perekonomian semacam ini praktis berimbas pada kemandekan sektor riil yang berujung pada PHK dan peningkatan tingkat kemiskinan. Akan tetapi, dalam kondisi normal apresiasi rupiah seperti saat ini memiliki beberapa implikasi ekonomi.

Pertama merupakan saat yang tepat untuk melakukan pelunasan utang luar negeri. Dalam kondisi apresiasi, deminasi rupiah terhadap dolar mengalami kenaikan sehingga besaran utang akan berkurang. Kedua, tertekannya ekspor domestik dan akan terjadi penurunan baik secara kuantitas maupun nilainya, dan sebaliknya kuantitas impor diperkirakan akan meningkat.

Dengan demikian penguatan rupiah memberikan berkah apabila otoritas moneter bisa memelihara momentum penguatan rupiah dengan melakukan ekspansionary monetary policy. Yaitu kebijakan bank sentral dalam menstimulasi perekonomian dengan kebijakan moneter longgar. Dan, tentunya pemerintah selaku otoritas fiskal melakukan restrukturisasi terhadap semua regulasi dan revitalisasi sektor-sektor ekonomi strategis.

Sinergisitas kedua otoritas juga menjadi kunci untuk dapat menjaga stabilitas sehingga kepercayaan investor terhadap Indonesia terjaga. Sebaliknya, penguatan akan menjelma menjadi bencana apabila laju perkembangan di sektor makro tidak seimbang dengan laju di sektor mikro. Akhirnya, momentum penguatan rupiah berpulang kepada kredibilitas pemerintah dalam mengatur perekonomian mendatang.
Dimas Bagus Wiranata Kusuma
dimas_economist@yahoo.com (+60-169026445)
Penulis adalah Kandidat Master of Economics International Islamic University Malaysia (IIUM), Direktur Humas Islamic Economic Forum for Indonesia Development (ISEFID) Kuala Lumpur.

(msh/msh)

Tidak ada komentar: