Kamis, 22 Oktober 2009

Opini


Membangun Pijakan Politik Luar Negeri

Kamis, 22 Oktober 2009 - 09:32 wib
text TEXT SIZE :
Share

Tatanan global berada di fase dimana negara-negara mulai mempertanyakan hegemoni Amerika Serikat (AS) dan sistem internasional yang selama ini menopang interaksi antarnegara di bidang keuangan, perdagangan, pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup, bahkan sistem politik dan perlindungan hak asasi manusia (HAM).

Bretton Woods sebagai konsensus politik ekonomi pasca-Perang Dunia II dipertanyakan kemanjurannya dalam menghindari krisis ekonomi dan keuangan yang diprediksikan akan makin sering melanda dunia. Negara industri Barat yang biasanya tak tergoyahkan kini memutar otak untuk keluar dari krisis yang melilit.

Di sisi lain, sejumlah negara seperti China, India, Brasil, tampil cerah dengan iklim investasi yang menjanjikan, pertumbuhan ekonomi yang pesat kala likuiditas global mengering dan gaya hidup kapitalis yang glamor. Indonesia pun "terbawa" dalam arus baru ini, terutama dengan diakuinya forum G-20 sebagai forum penting yang menggantikan G-8 dalam mengurusi keuangan dan perekonomian dunia.

Ke mana Indonesia mau dibawa dalam fase ini? Apa agenda 100 hari kepemimpinan tahap dua Presiden SBY yang patut dikembangkan dalam bidang luar negeri? Wacana sudah dibangun, tempat bergantung di percaturan dunia sudah terpetakan, kini saatnya membangun pijakan kokoh untuk merealisasikan langkah, yakni merapikan koordinasi antarpembantu negara.

Selama kepemimpinan SBY periode 2004-2009, Indonesia berhasil mencatatkan diri sebagai salah satu negara yang kerap jadi perhatian dunia karena pernyataan dan kegiatan sang Presiden. Misalnya, segera setelah tsunami, SBY ke Aceh dan membuka akses ke sana bagi pihak asing.

Dia ingin menunjukkan bahwa tak ada yang perlu ditutupi di Aceh. Melalui pembentukan Bali Democracy Forum, dia dan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mempromosikan demokrasi sebagai sistem politik terbaik bagi negara manapun, termasuk bagi ASEAN. Konsep HAM pun dinyatakan hanya dapat terwujud melalui demokrasi. Dalam keakrabannya dengan Presiden AS Obama, SBY menyetujui bahwa Islam dan demokrasi dapat beriringan.

Di Universitas Harvard dia memesona forum dengan menekankan pentingnya toleransi antarperadaban. Dalam hal kelestarian lingkungan, Indonesia menjadi tuan rumah World Ocean Conference di Manado dan United Nations Framework Convention on Climate Change di Bali. Ada pula janji bahwa pada 2020 Indonesia akan mengurangi emisi karbon hingga 26%.

Di bidang ekonomi, reformasi good governance mendatangkan penghargaan Asian Finance Minister of the Year dari Emerging Market dan Finance Minister of The Year dari Euro Money untuk Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Di bidang kesehatan, terlepas dari merosotnya indeks pembangunan manusia di Indonesia, negara ini tampil keras di forum internasional untuk mengkritik penanganan flu burung.***

Jelas bahwa di sisi wacana, Indonesia relatif berhasil menarik perhatian dunia akan prinsip-prinsip yang dianutnya.Tugas selanjutnya adalah memanfaatkan perhatian tersebut untuk menyukseskan agenda Indonesia tersebut. Arahnya jelas. SBY merangkum tiga bidang prioritas kepemimpinannya kali ini: demokrasi, kesejahteraan, dan keadilan. Karena komitmen yang sudah kita buat di tingkat internasional berarti cara mencapai demokrasi, kesejahteraan, dan keadilan juga sudah ada alurnya.

Kesejahteraan akan diukur dengan pencapaian millenium development goals (MDG's) paling lambat 2015, dengan pemanfaatan kebijakan perdagangan bebas di ASEAN pada 2012. Demokrasi dan keadilan berarti diraih dengan menjaga toleransi antarperadaban dan perlindungan hak asasi manusia-tentu termasuk di dalam negeri sendiri, yakni bagi yang hak-haknya terabaikan.

Tanpa konsistensi itu, berarti omong kosong belaka di tataran internasional. Jangan lupa pula bahwa kepemimpinan dalam hal pelestarian lingkungan hidup dan good governance yang menjamin transparansi dan pelayanan publik yang berkualitas adalah tanggung jawab pemerintah yang secara implisit terkait dengan substansi demokrasi dan masa depan kesejahteraan serta keadilan di Indonesia.

Dalam 100 hari, sepatutnya tugas utama SBY di bidang luar negeri adalah membenahi mekanisme kerja para menteri beserta jajaran eselon di departemen/kementerian. Tugas ini harus tuntas dalam 100 hari pertama kabinet baru! Jadi justru tidak bisa dilakukan "sambil jalan", apalagi jika karena sejumlah alasan Presiden berkeinginan untuk tetap memandu pelaksanaan politik luar negeri.

Jika birokrasinya tidak siap, janji tinggallah janji. Kinerja bukanlah barang instan. Pembenahan pertama haruslah menyangkut penempatan peranan Departemen Luar Negeri (Deplu) sebagai lokomotif negosiasi internasional, baik skopnya bilateral, regional, maupun global. Ketika sudah ada janji akan perdagangan bebas ASEAN, misalnya, maka segala kebijakan yang mempersiapkan Indonesia di era tersebut selayaknya melibatkan Deplu.

Idealnya Deplu akan berperan sebagai koordinator yang menyelaraskan langkah semua departemen/ kementerian terkait. Namun jika ada keterbatasan tertentu, kepemimpinan perlu disepakati dari instansi pemerintah lain dengan tetap melibatkan Deplu sebagai salah satu inti pelaksana program. Task Force pelaksana komitmen internasional perlu dibentuk.

Jika tiap departemen (bahkan pemerintah daerah) masih jalan sendiri-sendiri, apalagi sampai maju bertemu pihak asing tanpa koordinasi, perhatian kita terpecah, potensi tidak terpadu, dan kita membuang waktu. Jangan lupa, mandat kebijakan luar negeri tetap terpusat pada pemerintah pusat. Deplu sendiri memang harus membenahi diri dan lebih tangkas.

Jika tetap mempertahankan struktur kelembagaan di mana para direktorat jenderal fokus pada kewilayahan, maka kepemimpinan menteri luar negeri dan wakilnya perlu diperkuat dan dipertegas agar para direktur jenderal punya nilai tawar yang sama dengan instansi pemerintah lain yang terlibat dalam negosiasi tertentu. Dengan aset 119 perwakilan di negaranegara dunia, Deplu adalah sumber sekaligus corong informasi yang harus diberdayakan untuk agenda luar negeri. Para negosiator andal pun masih berafiliasi dengan Deplu.

Artinya, untuk memaksimalkan jendela waktu yang sangat singkat menuju era baru perdagangan bebas kawasan ASEAN, komitmen perlindungan lingkungan, HAM dan demokrasi, serta kesejahteraan sosial, Indonesia jangan berandai-andai melakukan reformasi birokrasi besar-besaran secara instan.

Kepaduan langkah adalah tahap awal yang krusial. Selain itu, paradigma yang harus dipegang teguh para pejabat publik dan pegawai pemerintah adalah pemberian prioritas kinerja maksimal bagi kepentingan rakyat. Jangan lupa bahwa tingkat pendapatan negara dari pajak sudah meningkat dan masih akan terus ditingkatkan, sementara penanganan biaya ekonomi tinggi dan pelayanan publik yang berkualitas belum terlaksana.

Artinya, masyarakat memberi kelonggaran pada pejabat untuk bertugas. Subsidi rakyat untuk pejabatnya belum tanpa syarat. Jadi janganlah lagi ada upaya peningkatan gaji pegawai pemerintah dan pejabat. Selayaknya semua pembantu negara mendengarkan nuraninya untuk memberi yang terbaik. Presiden selayaknya membuka ruang lebih lebar bagi siapa pun yang terbukti berkomitmen ke arah sana.Yang berhasil melayani, dialah pemimpin.(*)

Dinna Wisnu PhD
Dekan pada Paramadina, Graduate School of Diplomacy

(//mbs)

Tidak ada komentar: