Rabu, 22 Juli 2009

17/07/2009 - 07:54 Konsolidasi Demokrasi
Rocky Gerung
KAMIS (16/7) siang, Lembaga Survey Indonesia (LSI) mengumumkan hasil survei yang menyangkut 'tingkat kepuasan pemilih' dan 'tingkat kejurdilan' Pilpres 2009. Temuan menggembirakan: sekitar 80% pemilih puas terhadap pelaksanaan Pemilu, dan sekaligus menilai Pemilu kali ini berjalan secara 'jurdil'.

Temuan ini mengarah pada kesimpulan bahwa demokrasi adalah sistem politik yang dianggap baik bagi Indonesia, dan konsolidasi demokrasi dianggap sudah cukup terbentuk. Statistik pemilu itu menjadi bacaan awal tentang arah demokrasi kita. Yaitu bahwa kita sudah berada di jalan yang benar.

Kesimpulan studi LSI ini tentu saja merupakan hasil kajian terhadap pendapat pemilih pada saat selesai mencontreng (exit poll) di hari pilpres 8 Juli lalu. Tetapi seminggu ini protes terhadap hasil Pilpres itu justru makin keras. Tentu saja suara protes itu datang dari kubu Mega-Pro dan JK-Win yang pasti merasa dirugikan oleh hasil awal perhitungan suara lembaga survey maupun KPU.

Memang, sekecil apapun, kecurangan atau kelalaian KPU dalam penyelenggaraan dan perhitungan suara adalah soal yang perlu diusut tuntas. Masalah DPT terutama, adalah masalah yang akan tetap membebani legitimasi pemilu. Jadi, dilema demokrasi hari-hari ini adalah: di tingkat rakyat ada penerimaan positif terhadap hasil dan kualitas pemilu, sementara di tingkat elit ada penolakan serius terhadap kejurdilan pemilu.

Yang menjadi pertanyaan kita sekarang ini adalah: berakibatkah nanti protes elit partai atas hasil pilpres itu bagi rakyat yang telah menyatakan puas terhadap hasil pemilu? Artinya, akankah rakyat pemilih mengikuti protes elit partainya, dengan akibat pertikaian politik pasca pemilu dapat tersulut?

Masalah ini hendaknya diantisipasi sejak awal mengingat sifat perpolitikan kita yang masih sangat tergantung pada patronasi politik elit.

Tetapi seandainyapun rakyat pemilih tidak terpengaruh atas kondisi ketegangan politik di tingkat elit, tetaplah soal-soal yang menyangkut kejurdilan pemilu harus diselesaikan secara terbuka.

Soal inilah sesungguhnya yang akan menentukan apakah kesimpulan studi LSI itu sudah memberi kita rasa optimisme bahwa konsolidasi demokrasi memang sedang berjalan di negeri ini. Artinya, kematangan politik demokrasi kita hari-hari ini akan sangat tergantung pada penyelesaian tuntas dan terbuka terhadap soal DPT dan mekanisme perhitungan suara KPU.

Konsolidasi demokrasi memang bukan sekedar diukur melalui tingkat kepuasan pemilih terhadap pelaksanaan pemilu. Yang lebih penting adalah apakah konflik hasil pemilu itu dapat diselesaikan secara hukum dan memuaskan pihak yang dirugikan.

Keterbukaan politik merupakan syarat pertama untuk memulai proses penyelesaian itu. Artinya, KPU harus secara otonom mengolah protes kecurangan itu dengan menganggapnya sebagai protes konstitusional warga negara, dan bukan sebagai protes pihak yang kalah.

Posisi itu harus tegas dipegang agar prinsip imparsial dalam menyelenggarakan pemilu dapat terus terjaga sampai hasil akhir perhitungan itu ditetapkan sebagai hasil final.

Yang paling penting adalah validitas data yang mampu dikumpulkan baik oleh Capres yang dirugikan, maupun temuan dan penyelidikan yang dilakukan oleh Banwaslu sebagai lembaga resmi pengawas pemilu.

Data itulah yang pada akhirnya menjadi penentu kejurdilan pemilu. Proses hukum niscaya akan mengarah pada validitas data kecurangan yang mampu diajukan dan dibuktikan di depan hukum.

Kita memang sedang menantikan penentuan status protes dari para capres yang merasa dirugikan itu. Dua pertanyaan kunci tentu masih terbuka: Cukupkah validitas kasus yang dapat ditampilkan?

Dan, sanggupkah Banwaslu mengevaluasi netralitas KPU selama penyelenggaraan pemilu? Tetapi sambil menanti penuntasannya, hal penting yang perlu diedarkan pada publik hari-hari ini adalah bahwa electoral politics hanyalah hardware demokrasi. Yang perlu kita selenggarakan adalah software-nya, yaitu percakapan argumentatif dalam masyarakat.

Percakapan argumentatif itulah yang sesungguhnya mengaktifkan demokrasi. Percakapan itu adalah percakapan di antara sesama warganegara, yang dasarnya adalah kesetaraan di depan konstitusi.

Di depan konstitusi, tidak ada perbedaan warganegara berdasarkan ciri-ciri primordial.

Konsolidasi demokrasi baru dapat kita rasakan bila percakapan itu telah terselenggara secara wajar dalam kehidupan sehari-hari.

Sekali lagi, keperluan kita dengan hasil pemilu melalui studi LSI itu, memberi kita gambaran besar tentang kondisi demokrasi hari ini. Kondisi itu memperlihatkan penerimaan publik terhadap hasil pemilu. Tentang soal-soal protes kejurdilan adalah hal yang tetap memerlukan putusan hukum. Dengan cara itu kita memajukan kualitas demokrasi kita. [L1]

Tidak ada komentar: