Jumat, 24 Juli 2009

Mencari Kebenaran Jalannya Sejarah Peristiwa 30 September 1965

saya sempat ketemu dengan anak dari pak Oemar Dhani, yang di penjara selama 32 tahun karena urusan politik. Dia meminjamkan buku yang diberikan oleh ayahnya dengan judul Pledoi Oemar Dhani (dengan tanda tangan pak Oemar di sampulnya). Saya baca buku tersebut dan sangat terkesan, karena banyak hal detail yang ditulis mengenai proses G30S. Buku ini juga membuka wawasan dan persepsi saya. Paling tidak sekarang saya sudah lihat cerita dari kedua belah pihak. Renungan 30 September Dalam Artikel Koran Asvi Warman (Sejarawan)
Hari ini Minggu 30 September 2007. Kalau sepuluh tahun yang lalu dan selebihnya, bendera Merah Putih mesti dipasang setengah tiang di depan rumah dan besok dipasang setiang penuh. Kalau sepuluh tahun yang lalu dan selebihnya, nanti malam pasti ada pemutaran film "Pengkhianatan G30S/PKI", film yang sudah berkali-kali saya tonton, film panjang yang menegangkan, film panjang yang bagus sekali, film panjang yang sarat dengan kejahatan PKI dan heroisme Soeharto, Kostrad, dan RPKAD. Era Reformasi terjadi setelah Pak Harto mengundurkan diri. Bendera Merah Putih setengah tiang dan setiang penuh tak lagi wajib dipasang di depan rumah pada setiap 30 September dan 1 Oktober. Tak ada lagi pemutaran film "Pengkhianatan G30S/PKI. Dan, terjadilah kontroversi dalam sejarah seputar G30S (Gerakan Tiga Puluh September itu). Siapa dalang sesungguhnya ? Kontroversi terjadi karena buku-buku yang membahasnya mulai bermunculan pada era Reformasi ini. Buku2 seperti ini tak mungkin bisa saya baca pada era Soeharto jadi presiden RI sebab pasti akan dilarang sebelum dicetak diperbanyak. Semua kontroversi ini menyimpulkan beberapa hal buat saya : ada sesuatu yang ditutup-tutupi dalam sejarah, ada sesuatu yang dibelokkan dalam sejarah, ada sesuatu yang direkayasa dalam sejarah. Film "Pengkhianatan G30S/PKI" mungkin juga hasil rekayasa sejarah, atau pembelokan sejarah, atau penutupan sejarah, diputar untuk semacam sarana indoktrinasi masyarakat.
Saya belajar sejarah di SMP-SMA (1977-1983) dengan kurikulum 1975. Saya diajarkan bahwa PKI adalah dalang G30S yang membunuh tujuh pahlawan revolusi pada malam 30 September 1965 dan dini hari 1 Oktober 1965 lalu segera berhasil ditumpas dengan sangat cepat oleh Soeharto dan RPKAD. Maka gerakan ini disebut G30S/PKI. Tetapi,tak pernah diajarkan dan tak pernah ada di buku pelajaran sejarah bahwa akibat tujuh pahlawan revolusi yang dibunuh PKI itu telah terjadi pembantaian massal atas orang2 yang diduga anggota atau simpatisan PKI di mana-mana. Paling sedikit setengah juta orang dibantai mati oleh bangsanya sendiri, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Siapa yang membantainya ? Angkatan darat dan ormas2 anti PKI. Benarkah PKI adalah dalang G30S ? Di situlah kontroversinya. Di bawah ada kutipan wawancara Suara Merdeka dengan Dr. Asvi Warman Adam, ahli sejarah dari LIPI yang banyak meneliti kontroversi ini. Yang membingungkan, Kurikulum 2004 mencopot PKI dari G30S berdasarkan masukan dari para ahli sejarah sebab makin banyak bukti dan hasil penelitian bahwa dalang G30S bukan PKI atau bukan PKI sebagai partai tetapi oknum2 PKI, atau bisa Soeharto, atau CIA/Inggris/Australia, dll. Multi tafsir, maka tak benar langsung menuduh PKI sebagai dalangnya. Ini memang kenyataan sejarah, bahwa ada rekayasa politik dan pertarungan/persaingan politik/kekuasaan menjelang G30S. Jadi, jangan membodohi anak didik dengan versi yang belum tentu benar. Jadi, namakan saja G30S sampai nanti ada kejelasannya. Sejarah terus berkembang. Begitulah kira2 masukan para sejarawan yang diterima oleh Tim Kurikulum 2004 sehingga mencopot PKI dari G30S menjadi G30S saja. Buku2 sejarah untuk SMP dan SMA pun dicetak dengan mencantumkan G30S. Tetapi, kemudian Kurikulum TSP (tingkat satuan pendidikan) 2006 mencantumkan kembali PKI pada G30S menjadi G30S/PKI. Nah, membingungkan!
Berbekal Kurikulum 2006 dan SK Menteri Pendidikan Nasional tentang itu, maka aparat Kejaksaan memburu buku2 sejarah SMP/MTs dan SMA/MA/SMK yang hanya menyebut G30S dalam tragedi 30 September 1965 itu lalu membakarnya. Dalam dua tahun ini telah puluhan ribu buku dari banyak penerbit dibakar. Guru, anak didik, penerbit, dan orang tua kebingungan. Berapa besar kerugian karena ini ? Minggu lalu, 25 September 2007, aparat Kejaksaan Negeri Bekasi memusnahkan 1468 buku sejarah untuk SMP/MTs dan SMA/MA/SMK dari berbagai penerbit yang menurut mereka mengajarkan sejarah yang tak sesuai fakta, yaitu hanya mencantumkan G30S dan bukan G30S/PKI (berita di Bisnis Jakarta 26 September 2007 hal. 3). Gayung bersambut. Para ahli sejarah dan para penerbit akan memperkarakan Kejaksaan dan Depdiknas ke pengadilan atas kasus pembakaran buku2 ini. Para penerbit beralasan bahwa buku2 itu ditulis sesuai Kurikulum 2004 dari Depdiknas sendiri yang hanya mencantumkan G30S; sedangkan para ahli sejarah beralasan bahwa dalang G30S belum tentu PKI. Begitulah cerita carut-marut di negeri tercinta ini.
Ada yang berusaha menegakkan fakta, ada yang berusaha tetap mempertahankan kekaburan fakta. Kasus G30S, siapa pun dalangnya tak boleh terulang lagi di negeri tercinta ini. Apakah kita ingin lagi melihat saudara-saudara kita sendiri terkapar mandi darah dibantai tetangganya, apakah kita ingin lagi melihat sungai menjadi merah oleh darah puluhan mayat yang dibantai ? Kesalahpahaman, pemahaman buta,dendam, dan pemutarbalikan fakta telah mendorong sesama bangsa kita telah saling membunuh sampai menewaskan 1/2 - 3 juta orang ! Jangan sampai terulang lagi. Melihat begini, bukan G30S-nya sendiri yang mengerikan, tetapi efek sesudah G30S itu. salam prihatin, awang
Lampiran :
Wawancara Suara Merdeka dengan Dr. Asvi Warman Adam -LIPI (8 Oktober 2006) Dalang G30S Tidak Tunggal
SALAH satu peneliti mengenai Partai Komunis Indonesia (PKI) dan sejarah pergolakan Gerakan 30 September adalah Dr Asvi Warman Adam. Karena itu, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini sangat layak dilibatkan dalam perbincangan mengenai penghapusan istilah PKI dari Gerakan 30 September/PKI dalam buku sejarah Indonesia terkini. Bahkan bukan tidak mungkin pria yang menceburkan diri dalam penelitian mengenai pergolakan 1965-1966 ini memunculkan fakta-fakta baru mengenai kontroversi yang tak tuntas-tuntas itu. Apa pendapat dia tentang berbagai buku yang dikaitkan dengan PKI? Berikut petikan perbincangan dengan doktor lulusan Prancis ini di Perumahan Poris-TVRI kawasan Pondok Gede, Kota Bekasi. Dalam buku pelajaran sejarah ada penghilangan kata PKI dari G30S/PKI. Apa komentar Anda? Saya melihat yang dilakukan penyusun buku sejarah ini sebagai hal ositif. Positif dalam artian tidak ada lagi monotafsir yang dipaksakan. Dengan pengajaran multitafsir ini akan menumbuhkan daya kritis siswa. Bisa muncul diskusi-diskusi tentang peristiwa tragedi 1965 itu. Sebagaimana diketahui pada Kurikulum 1994 maupun 1999 memang selalu ditulis G30S PKI untuk menyebut gerakan itu. Pada era reformasi -yang dimulai pada pelengseran Soeharto, banyak bermunculan buku yang mengulas tentang peristiwa berdarah tahun 1965-1966 dalam berbagai versi. Buku-buku itu sebenarnya sudah muncul saat era Orde Baru, tapi langsung dilarang, karena dinilai akan mengganggu versi tunggal dari penguasa.
Pada 1995, terbit Di Bawah Bayang PKI. Buku ini bukan bercerita tentang PKI, tetapi menguraikan berbagai versi tentang PKI dan kaitannya dengan peristiwa-peristiwa di Tanah Air termasuk peristiwa 1965. Buku itu dilarang Kejaksaan Agung. Pada waktu itu pokoknya segala sesuatu yang mengancam versi tunggal pemerintah yang mengatakan bahwa PKI adalah dalang G30S akan dilarang.
Kemunculan berbagai versi itu menjadikan pakar-pakar di pusat kurikulum mengakomodasi temuan mereka. Penghilangan kata PKI pada G30S itu saya rasa lebih netral dan objektif, karena pada kenyataannya memang berkembang berbagai versi. Ada yang menyatakan ada keterlibatan unsur luar seperti CIA dan Dinas Rahasia Inggris, Ada yang beranggapan gerakan itu dilakukan PKI atau Soeharto dengan kudeta merangkak. Juga Soekarno dan sebagainya.
Sekarang tinggal kita lihat saja mana dari versi-versi itu yang argumennya lebih kuat. Bukan khayalan belaka. Juga kredibilitas saksi sejarahnya.Apakah penghilangan kata PKI ini bermaksud untuk tidak lagi menganggap para jenderal yang terbunuh sebagai korban peristiwa makar?Ini sama sekali tidak berkaitan dengan upaya mengecilkan para Pahlawan Revolusi. Ini hanya bertujuan untuk mengenalkan kepada siswa dan masyarakat tentang ada banyak tafsir serta berbagai dampak besar yang terjadi setelah peristiwa itu.Yang perlu kita pahami adalah tragedi 1965 itu adalah peristiwa sedemikian kompleks yang berakibat pada konflik horizontal yang memakan korban begitu besar dalam sejarah negeri ini. Bukan sekadar peristiwa 30 September hingga 1 Oktober saat pada hari-hari itu terbunuh para jenderal dan perwira Angkatan Darat. Coba kita ingat lagi mengenai serangkaian pembunuhan masal di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada data yang menyebutkan sampai lebih dari setengah juta orang terbunuh. Hal ini perlu diketahui para siswa sehingga mereka sadar bahwa kejadian seperti itu tidak boleh terjadi lagi pada bangsa Indonesia Sebagai sejarawan, apa tafsir Anda tentang peristiwa G30S? Saya sudah mempelajari berbagai versi tentang G30S. Saya lebih cenderung memandang peristiwa itu sebagai tragedi yang begitu kompleks sehingga saya lebih sependapat dengan Bung Karno. Dalam Pidato Nawaksara, kata Bung Karno, dalang G30S tidak tunggal. Tidak mungkin kalau satu kelompok saja yang melakukan. Adaberbagai pihak yang bermain di situ. Bung Karno menyebutkan ada pimpinan PKI yang kebablasan keblinger, sehingga bertindak tidak sebagaimana mestinya. Ada unsur Nekolim (Amerika dan Inggris) melaui dinas rahasia, dan ada oknum yang tidak bertanggung jawab. Sayang Bung Karno tidak menyebutkan secara jelas siapa-siapa saja yang dimaksud sebagai oknum yang tidak bertanggung jawab. Dia hanya memberikan garis besar. Saat ini juga muncul tulisan dari orang-orang berhaluan komunis. Orang-orang komunis bahkan menjadi pahlawan baru. Bagaimana Anda melihat fenomena seperti ini? Wajar saja, karena saat ini kesempatan untuk itu terbuka memang demikian luas. Namun kalau sampai mereka menjadi pahlawan baru, saya tidak melihatnya sampai sejauh itu. Semua masih tetap positif karena mereka hanya menuliskan penderitaan saat ditindas oleh rezim Orde Baru dan tentang penderitaan mereka dan keluarga setelah 1 Oktober 1965. Selebihnya mereka juga bermaksud membuka borok rezim Orde Baru yang menginjak-injak hak asasi manusia. Ini positif sebagai pengetahuan. Setidaknya masyarakat tahu bagaimana tentang pembuangan orang-orang PKI ke Pulau Buru. Juga bagaimana anak-anak PKI harus menanggung dosa ayahnya dengan perlakukan negara yang diskriminatif.Semua itu perlu bagi kita. Sayang saat ini belum ada orang-orang yang menulis sebaliknya. Menulis tentang apa? Lo, kita juga mengetahui setelah melakukan pemberontakan dan perbuatan kejam terhadap negara dan rakyat Indonesia lewat pemberontakan di Madiun 1948, PKI pada tahun 60-an juga sering melakukan perbuatan tidak terpuji. PKI juga sering melakukan perbuatan atau menghasut rakyat untuk melakukan perbuatan kekerasan. Coba kita lihat saat PKI sering menggalang aksi massa untuk melaksanakan program land reform. Bagaimana mereka menggerakkan massa untuk mengambil tanah-tanah milik tuan tanah kaya yang kata mereka nanti akan diserahkan kepada negara untuk selanjutnya dibagi-bagikan kepada rakyat.Dalam pelaksanaannya, PKI dan Barisan Tani Indonesia (BTI) begitu berlebihan dan agresif sehingga sampai menimbulkan konflik dan akhirnya memakan korban. Konflik horizontal yang sering terjadi saat itu adalah sengketa antara orang-orang kiri dengan Islam. Tanah-tanah luas itu adalah milik kiai-kiai. Jadi pada awalnya orang-orang PKI-lah yang lewat provokasi sering menimbulkan konflik horizontal.Coba kita lihat juga konflik kebudayaan. Bagaimana konflik antara Lekra dan Manikebu. Jadi di dalam berbagai bidang aksi-aksi yang dilakukan PKI dan segenap onderbouw sudah menumbuhkan benih-benih kebencian.
Karena itu setelah 1 Oktober, yaitu titik balik PKI dari begitu powerfull menjadi lemah dan tercerai-berai, terjadilah aksi pembalasan dari lawan-lawannya. Saya beranggapan berbagai kekerasan yang dilakukan PKI itu sebenarnya sudah mendapatkan balasan hukuman luar biasa antara 1965-1966 tersebut. Karena itu seharusnya Soeharto sebagai pemegang tampuk kendali saat itu segera menggelar rujuk nasional pada 1966 setelah pembantaian orang-orang PKI selesai. Atau minimal pada 1967. Jadi tidak ada tragedi kemanusiaan berkepanjangan. Sayang oleh Soeharto isu PKI dan bahaya laten komunis terus menerus dikembangkan agar bisa dijadikan kambing hitam atas segala persoalan. Jadi rezim Orba menggunakan sejarah untuk dijadikan sebagai alat teror negara.
Menuduh orang-orang yang kritis terhadap pemerintah sebagai PKI adalah alat pukul efektif yang dilakukan pemerintah masa lalu.
Saat ini sudah tidak ada lagi perintah pengibaran bendera setengah tiang pada 30 September. Apa ini bisa dikatakan kita sudah melupakan peristiwa di balik tanggal tersebut?
Saya rasa ini adalah respons masyarakat yang biasa saja, setelah segalanya menjadi terbuka. Dan pemerintah juga membaca hal sama. Kalau dulu setiap 30 September dikibarkan setengah tiang lalu pada 1 Oktober satu tiang penuh. Pada tanggal itu di Jakarta ada pembunuhan terhadap enam Jenderal, satu perwira, dan satu polisi. Di Yogyakarta ada pembunuhan terhadap dua perwira. Jadi, ada 10 korban jiwa. Tapi dalam hitungan 2-3 bulan setelah itu terjadilah pembantaian besar-besaran. Jadi bila adil mungkin pengibaran benderanya sampai tiga bulan penuh. Jadi janganlah melihat satu peristiwa itu dalam kacamata yang sempit.
Mengenai pengibaran bendera pada 30 September tersebut memang jauh berbeda dari menjelang tanggal 17 Agustus. Tanpa dikomando pun rakyat baik di desa maupun di kota akan menaikkan bendera dan menggelar serangkaian acara. Selain nuansanya kebahagiaan, juga tafsir tunggal kemerdekaan kita 17 Agustus mengena tepat di seluruh rakyat Indonesia. Atau tidak ada yang merasa dirugikan atau dimanipulasi. Dari penelitian sejarah yang Anda lakukan, apakah bangsa bisa dikatakan sebagai bangsa pemaaf?Agak sulit untuk mengatakan secara pasti apakah bangsa kita ini pemaaf atau tidak. Tapi saya pribadi menilai kalau masyarakat kita adalah masyarakat yang umumnya pemaaf. Menurut saya, yang berusaha untuk membangkitkan luka masa lalu, mengingatkan kembali dendam adalah ulah segelitir elite saja. Parapengikut PKI kini juga sudah tua. Rata-rata sudah berusia 70 atau 80-an. Anak-anak mereka juga sudah mempunyai kepentingan yang bermacam-macam, sehingga mungkin sangat sedikit yang mencoba menghidupkan kembali ideologi komunis. Selain itu ideologi komunis juga sudah ambruk di negeri asalnya, Rusia. Kalaupun tersisa di Vietnam dan RRC, itu pun karena ada kepentingannya. Mereka tidak ingin terjadi perubahan yang terlalu cepat sehingga menimbulkan masalah besar seperti di Rusia dan negara Eropa Timur. Sudah saatnya kita berdamai dengan sejarah sehingga tidak mudah terprovokasi segelintir elite yang ingin mencari keuntungan politis di balik itu semua.Bagaimana komentar Anda tentang Intelijen Kejaksaan Agung yang meneliti buku pelajaran sejarah terkait penghilangan kata PKI? Saya setuju kalau Kejakgung melarang buku-buku yang sangat meresahkan. Menurut saya yang tergolong meresahkan itu misalnya buku yang mengajarkan ajaran yang menyimpang dari agama. Kan ada buku seolah ajaran Islam, tapi isinya adalah ajaran yang justru sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Tapi kalau buku-buku pelajaran yang menyajikan berbagai versi tentang peristiwa bersejarah, saya rasa jangan dilarang. Buku ini kan tidak sepihak sehingga baik untuk menumbuhkan budaya berdikusi dan berpikir kritis. Serahkan saja urusan ini kepada Depdiknas. Kejakgung kan banyak tugas untuk memberantas korupsi. (Hartono Harimurti-35)(Suara Merdeka, 8 Oktober 2006)

Tidak ada komentar: