Selasa, 21 Juli 2009

News


Nur Said Dikenal Beraliran Keras

Rabu, 22 Juli 2009 - 04:27 wib
T

MAJALENGKA - Pelaku bom bunuh diri di Mega Kuningan, yang diduga Nur Sahid alias Nur Said alias Nur Hasbi, memiliki kemiripan dengan sosok yang pernah mengajar di dua pondok pesantren di Kecamatan Maja, Kabupaten Majalengka.


Menurut Endi, mantan pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum, Nur Sahid yang pernah mengajar di dua pesantren di Majalengka tersebut benar lulusan Pondok Pesantren Ngruki, Solo. Sebagian warga Majalengka memanggil Nur Said dengan sebutan Sahid.

"Saya tidak tahu, apakah Nur Said yang pernah mengajar di Pesantren Darul Ulum adalah Nur Said alias Nur Sahid alias Nur Hasbi, yang diduga pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton. Nur Said itu kurus dan berkulit putih," beber Endi kepada Seputar Indonesia di Pondok Pesantren Ar-Rahmat Palasah, Kabupaten Majalengka, kemarin.

Tubuh Nur Said kecil dengan perkiraan berat badan sekitar 54 kilogram, tinggi sekitar 160 cm, gigi tengah gingsul, mata sipit, berkulit putih, serta rambut lurus berdiri tegak.

Nur Said pernah mengajar materi Tauhid dan bahasa Arab di Pesantren Darul Ulum pada 2003. Kegiatan Nur Said di Kabupaten Majalengka adalah mengajarkan ilmu agama, ilmu bela diri, dan lagu-lagu Islam (nasyid).

Dia dikenal berpikiran Islam tekstual dan kerap menyalahkan ajaran orang lain. Meski bermukim di Pesantren Darul Ulum, dia sibuk mengajar di luar pesantren, sehingga beberapa kegiatan pesantren terbengkalai.

Akibatnya, Nur Said dikeluarkan dari Pesantren Darul Ulum karena biasa menyalahkan ajaran orang lain dan terlalu sibuk kegiatan di luar pesantren. Endi yang bertugas menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum sejak September 1999 sampai Februari 2009 menyebutkan, pemikiran Nur Said tergolong aliran keras.

Beberapa kali Nur Said melontarkan pemikiran tentang "syahid". "Nur Sahid berpikiran, ajaran yang dipegangnya adalah ajaran yang paling benar sehingga kerap menyalahkan ajaran orang lain. Karena itu, Nur Said sering bertentangan dengan orang lain," lanjut Endi.

Dia mengaku pernah menerima telepon dari Nur Said pada dua tahun terakhir (sekira 2007). Nur Said menyebutkan bahwa dia mengajar di sebuah pesantren di Bogor, Jawa Barat, dan menyatakan bahwa ajaran yang dia pegang sudah sama dengan masyarakat pada umumnya.

Beberapa bulan kemudian Nur Said datang ke Majalengka sambil menawarkan kitab syarah riyadus sholihin dan menyebutkan.

"Saya sedang memakai gamis, lalu Said menyebut gamis saya bagus. Kemudian gamis itu saya berikan kepada dia. Itu kontak terakhir saya dengan Said," kata Endi. (Koran SI/Koran SI/kem)

Tidak ada komentar: