Rabu, 22 Juli 2009

Anomali Dalam Pengadilan Terhadap Anak

Opini
Anomali dalam Pengadilan terhadap Anak
Rabu, 22 Juli 2009 - 09:59 wib
Besok (23 Juli) kita akan merayakan Hari Anak Nasional (HAN). Peran anak sebagai generasi penerus bangsa diusahakan untuk selalu dikedepankan dalam setiap kesempatan.
Namun, selalu saja ada kejadian yang menempatkan anak pada posisi tidak semestinya yang berpotensi mengganggu perkembangannya. Contoh terbaru adalah pada tanggal 13 Juli yang lalu digelar persidangan terhadap 10 anak yang kedapatan bermain tebaktebakan uang logam di Terminal 1 Bandara Soekarno-Hatta. Ke-10 anak tersebut didakwa melakukan tindak pidana perjudian sesuai Pasal 303 KUHP. Pengadilan terhadap anak-anak tersebut sangat memprihatinkan; selain karena dakwaan yang begitu serius dan beratnya ancaman pidana, juga karena ternyata para terdakwa itu sempat ditahan selama hampir satu bulan setelah sebelumnya ditangkap oleh polisi bandara. Kita harus memberikan perhatian pada masalah penanganan yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap anak-anak tersebut. Umur mereka masih di bawah 18 tahun dan bahkan delapan orang di antaranya masih berada di sekolah dasar (SD). Seharusnya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pengadilan Anak (UU No 3 Tahun 1997) dan Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2003), perlakuan aparat penegak hukum tidak sekeras itu. Keprihatinan atas kerasnya hukum yang diterapkan dan "arogannya" penegak hukum terhadap anak-anak (terlebih anak yang dari golongan masyarakat lemah) harus mendapat perhatian karena mereka tidak bisa disamakan dengan orang dewasa.
Berdasarkan ketentuan UU di atas jelas sekali bahwa penanganan terhadap anak haruslah dilakukan dengan sangat hati-hati dan memperhatikan kepentingan terbaik bagi si anak. Sedemikian berartinya anak-anak bagi suatu bangsa sehingga perlindungan terhadap anak harus dikedepankan. Misalnya saja anak-anak yang telah melakukan perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana pun tidak disebut sebagai melakukan kejahatan, tetapi melakukan kenakalan (juvinile delinquency). Hal itu karena labelisasi sangat dihindari dalam rangka penanganan anak bermasalah demi masa depan anak tersebut.***
Berkenaan dengan masalah di atas, sangat disesalkan mengapa terhadap anak yang kedapatan bermain tebak-tebakan uang logam di bandara itu harus dikenakan dakwaan melanggar Pasal 303 KUHP tentang perjudian yang ancamannya pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda Rp25 juta.
Apakah tepat apabila mereka dikenai pasal tersebut? Perlu kita cermati rumusan tentang judi dalam ayat (2)-nya, yaitu "Yang dimaksud permainan judi adalah tiap-tiap permainan di mana pada umumnya kemungkinan mendapatkan untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena permainan lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya."
Selain itu terdapat ketentuan Pasal 303 bis ayat (1) angka 2 yang isinya sebagai berikut: "Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak sepuluh juta rupiah barang siapa ikut serta main judi di jalan umum atau di pinggir jalan umum atau di tempat yang dikunjungi umum, kecuali ada izin dari penguasa yang telah memberi izin untuk mengadakan perjudian itu."
Dari rumusan di atas, profesionalitas polisi yang menangkap dan penahan untuk penyidikan patut dipertanyakan. Perbuatan mana yang cocok dengan unsur yang dipersyaratkan sebagai suatu kejahatan perjudian, bukankah yang mereka lakukan itu hanya permainan semata, kalaupun melibatkan adanya "pertaruhan kecil-kecilan," apakah serta-merta sesuai dengan apa yang dimaksud sebagai judi oleh pembuat UU?
Pemahaman terhadap perbuatan seseorang yang dikatakan telah memenuhi unsur kejahatan tidaklah sesederhana seperti membaca deretan kata-kata dalam undang-undangnya, apalagi yang melakukan anak-anak, seharusnya lebih hati-hati. Selain itu, patut dipertanyakan dengan alasan apa sehingga mereka harus ditahan dalam rangka penyidikan? Berdasar ketentuan Pasal 45 ayat (1) UU No 3 Tahun 1997 dikatakan, penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat.
Selain itu dalam Pasal 16 UU Perlindungan Anak bahkan disebutkan bahwa penangkapan, penahanan, dan pemidanaan hanya dilakukan apabila sangat diperlukan dan merupakan upaya terakhir. Dari perspektif ini, sulit sekali untuk dipahami bahwa apakah memang penahanan sedemikian mendesaknya, apakah tidak bisa dikembalikan ke orangtua dan didatangkan bila diperlukan? Apakah para aparat memikirkan bahwa dengan ditahan mereka tidak bisa sekolah?
Selain itu yang terpenting adalah penahanan di rutan anak itu akan menimbulkan trauma dan lebih banyak sisi negatifnya bila dibandingkan dengan sisi positifnya bagi anak, tentunya juga atas pertimbangan dikaitkan dengan perbuatan yang telah dilakukan anak itu. Perlakukan aparat terhadap mereka seperti terhadap pelaku kejahatan berat saja yang memang tidak ada jalan lain selain menahan.
Padahal menurut Pasal 42, penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan, selanjutnya penyidik juga harus meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan, bahkan kalau diperlukan dapat meminta pertimbangan kepada ahli kejiwaan, ahli pendidikan, ahli agama, dan lain-lain, apakah ini juga telah dilakukan?***
Penahanan telanjur dilakukan dan kini mereka menghadapi persidangan. Kita harus terus mengawal jalanannya persidangan yang ternyata juga dilakukan dengan mekanisme hakim majelis dan mengapa bukan hakim tunggal? Bukankah dalam ketentuan Pasal 11 hakim yang memeriksa perkara anak pada tingkat pertama adalah hakim tunggal dan hanya dalam keadaan tertentu dapat dilakukan oleh hakim majelis dengan melalui ketetapan ketua pengadilan negeri.
Keadaan tertentu adalah bila ancamannya 5 tahun ke atas dan pembuktiannya sulit. Bila dikaitkan dengan kasus di atas, perlu dipertanyakan apakah memang perbuatan mereka yang hanya main tebak-tebakan uang logam dinilai begitu berat dan sulit pembuktiannya? Jangan hanya melihat ancaman pidananya saja. Hakim seharusnya lebih mendalami hukum yang akan diterapkan kepada anak, selain itu pemahaman bahwa sidang harus tertutup diartikan dengan menutup muka mereka dengan topeng sementara media dengan mudah bisa mengambil gambarnya apakah sudah tepat?
Media dengan fungsi kontrolnya memang penting, apalagi dalam perkara ini, tetapi caranya mestinya bukan demikian. Kita berharap penanganan aparat hukum pada perkara anak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, apalagi telah ditentukan bahwa aparat yang menangani perkara anak haruslah yang berpengalaman di bidangnya. Mereka harus mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami secara mendalam masalah anak.
Penangan perkara anak haruslah sangat berhati-hati, dengan profesionalitas dan integritas tinggi yang mendasarkan pada perspektif anak, terlebih terhadap anak-anak jalanan atau pada mereka yang tingkat ekonominya rendah, yang justru ini sebenarnya menjadi tanggung jawab negara untuk menyejahterakan mereka. Bukan malah ketika mereka terpaksa berhadapan dengan masalah hukum, perlakuan aparat begitu kejam. Penegakan hukum jangan diskriminatif.
Kita sudah sering mendengar dan melihat betapa kerasnya hukum terhadap masyarakat kecil, betapa cepat dan tidak ragunya para penegak hukum untuk menahan, sementara terhadap para koruptor atau orang yang diduga keras melakukan kejahatan besar, aparat sering tampak banyak pertimbangannya dan tidak jarang berakhir dengan kaburnya para penjahat besar itu. Tanpa ingin mengintervensi persidangan yang sedang digelar, kita berharap pengadilan benar-benar mempertimbangkan keadaan dan kejiwaan pelaku anak dalam perkara itu, untuk kemudian memutuskan sesuai dengan keadilan dan terbaik bagi masyarakat, terutama bagi si anak.
Para penegak hukum harus memahami dan menyadari bahwa anak adalah generasi muda, penerus perjuangan bangsa yang mempunyai peranan strategis, mempunyai ciri khas yang memerlukan penanganan yang khusus pula, perlindungan yang khusus, terlebih bila mereka terpaksa berhadapan dengan hukum.
Perlakuan terhadap mereka harus khusus, jangan sampai terlalu kejam dan merugikan sehingga mereka dengan penanganan itu bukan menjadi baik, tetapi malah bertambah buruk dan menjadi penjahat yang sesungguhnya.(*) Dr Yenti Garnasih, SH Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti

Tidak ada komentar: