Rabu, 22 Juli 2009

20/07/2009 - 00:04 Bom Marriott II & Politik Pengalihan
Ikrar Nusa Bhakti
Untuk ketiga kalinya kawasan Kuningan, Jakarta, menjadi sasaran teroris. Kali ini dua hotel berbintang yang penjagaannya amat ketat, JW Marriott dan Ritz Carlton, 17 Juli lalu menjadi sasaran bom bunuh diri.

Sebelumnya, pada 5 Agustus 2003, bom bunuh diri juga pernah menghantam Hotel JW Marriott. Setahun kemudian, 9 September 2004, yang secara kebetulan bertepatan dengan hari ulang tahun SBY, bom juga diledakkan di depan Kedutaan Besar Australia.

Hari Jumat kelabu itu benar-benar membuat kita semua tersentak dan marah. Negeri yang sudah aman ternyata menjadi sasaran teroris kembali. Kita semua berharap aparat keamanan mengungkap dan menangkap para teroris tersebut. Ini bukan saja demi mengembalikan citra bangsa Indonesia di mata dunia, melainkan demi keamanan kita semua.

Penulis dan dua putri kebetulan sedang menginap di Hotel JW Marriott sejak 13 Juli lalu yang seharusnya 'check-out' pada 18 Juli. Pagi itu, penulis dan putri sulung baru saja akan turun ke restoran untuk sarapan pagi. Betapa kagetnya kami berdua mendengar dua ledakan dahsyat diikuti getaran keras. Penulis melihat asap putih kecoklatan di bagian kiri bawah hotel. Di depan hotel tampak betapa kepanikan sedang mencekam. Langsung saja penulis katakan kepada sang putri cepat turun, ada bom di bawah.

Sesampai di bawah, pemandangan mengerikan tampak ketika pecahan kaca berserakan, lobby hotel amat gelap oleh asap kecoklatan, dan banyak tamu asing yang berjalan sempoyongan dengan baju compang-camping dan tubuh berdarah-darah. Di luar, pemandangan lebih mengerikan lagi, tak sedikit orang berdarah-darah yang duduk atau tertidur di halaman hotel serta di jalan raya. Taksi-taksi serta kendaraan bak terbuka pun dihentikan polisi dan orang-orang di sekitar agar cepat dapat mengangkut para korban.

Penulis langsung menelpon kolega dosen dari Sydney, Australia, yang kebetulan masih berada di kamar hotel. Ia amat kaget ketika penulis katakan hotel dibom. Walau panik karena gelap oleh asap dan lantai dasar hotel dipenuhi air akibat saluran yang bocor, kolega yang bersama penulis sedang bertugas menyeleksi aplikasi para calon penerima beasiswa 'Australian Leadership Awards', selamat. Kami lalu mengevakuasi diri ke Hotel Four Seasons.

Beruntung kami sekeluarga dan suami istri kolega penulis selamat. Kami juga mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada Pak Bagus, petugas hotel Four Seasons yang mengusahakan agar barang-barang kami yang ada di kamar 908 dan 1105 Hotel Marriott, sampai dengan selamat ke hotel Four Seasons pada malam itu juga. Namun, sampai kini kami belum tahu nasib mobil kami yang diparkir di Hotel JW Marriott.

Jumat siang itu juga, penulis dan kawan dari UI, Andi Widjajanto, ada pertemuan di Lemhanas. Sepulang dari Lemhanas, kami mendengarkan radio di mobil yang menyiarkan kembali konferensi pers Presiden SBY. Pada bagian awal pernyataan, kami merasa senang presiden mengutuk perbuatan terorisme itu dan akan mengambil tindakan tegas.

Namun pada bagian kedua, ketiga dan keempat, betapa terkejutnya penulis karena SBY mengaitkan perbuatan terorisme itu dengan hasil pilpres. Ini berarti presiden menuduh para pesaingnya sebagai aktor-aktor intelektual pelaku bom di Kuningan, sesuatu yang tidak masuk akal di era demokrasi.

Lebih terkejut lagi ketika SBY menunjuk adanya orang yang dulu pernah melakukan tindakan pembunuhan dan penculikan dan belum terjangkau hukum, dituduh sebagai orang yang haus darah bak drakula yang menebarkan ketakutan dan pembunuhan.

Bagi penulis, bagian-bagian akhir pernyataan presiden sangat tidak bijak dan melanggar asas praduga tak bersalah. Tak heran jika pernyataan tersebut dikomentari para pesaingnya, yakni Jusuf Kalla, Megawati, dan Prabowo Subianto pada kesempatan yang berbeda. SBY tidak menunjukkan sikap pemimpin yang tegar, malah menebarkan perpecahan dan permusuhan di antara sesama elite politik dan anak-anak bangsa.

SBY juga telah mengalihkan persoalan dari ancaman terorisme terhadap keamanan bangsa dan keselamatan rakyat, menjadi ancaman teroris terhadap dirinya sendiri. Padahal, aksi teror lebih ditujukan untuk menebar ketakutan dan kemarahan orang, sedangkan rencana pembunuhan seorang kepala negara adalah tindakan politik yang berbeda. Foto yang dipaparkan pada konferensi pers itu juga bukan baru, bahkan pelakunya sudah tertangkap.

Bukan saatnya lagi SBY terus menerus berkampanye mencari popularitas. Inilah saatnya ia membuktikan sebagai pemimpin bangsa, SBY bukanlah pemimpin cengeng (The Crying General), melainkan tegar dan tegas dalam menyelesaikan masalah keamanan di negeri ini, termasuk di Papua.

Gaya komunikasi politik SBY di hadapan wartawan yang suka menangis, emosional dan menuduh para pesaingnya menggagalkan pelantikan presiden, justru menimbulkan citra buruk bagi dirinya sebagai pemimpin yang cengeng, lemah, tidak tegas, dan suka sekali memecah belah masyarakat dan bangsa. NKRI harus kita pertahankan, rakyat harus kita selamatkan, dan bukan malah dipecah belah! [L4]

Tidak ada komentar: