Selasa, 02 Juni 2009

Jangan Terjebak Label Neoliberal Vs Kerakyatan

Kamis, 14/05/2009 12:43 WIB
Jangan Terjebak Label Neoliberal Vs Kerakyatan
Anwar Khumaini - detikNews

ireyogya.org Jakarta - Calon pemilih diingatkan agar tidak terjebak label neoliberal dengan kerakyatan dalam menghadapi Pemilu Presiden (Pilpres) 2009. Bisa saja dalam aplikasinya antara neoliberal dan kerakyatan akan sama saja.

Demikian disampaikan pengamat pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito dalam perbincangan dengan detikcom, Kamis (14/5/2009).

Istilah neoliberal mengemuka terkait keputusan SBY menggandeng Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono sebagai cawapresnya. Parpol peserta koalisi menolak Boediono dengan alasan ia penganut paham ekonomi neoliberal.

"Selama ini para calon hanya mengedepankan jargon-jargon saja. Jangan-jangan penganut ekonomi neoliberal dan ekonomi kerakyatan dalam aplikasinya sama," kritik Arie.

Berikut wawancara lengkap detikcom dengan Arie Sudjito, Kamis :

Plus minus pilpres dengan tiga calon?

Kalau kekuatannya berimbang, bagus. Tapi kalau tidak berimbang mudah memprediksi siapa yang menang. Dalam sistem demokrasi, 3 capres lebih menarik, dengan asumsi bahwa ada substansi yang dimunculkan dan ini nanti yang jadi penilaian pemilih. Selama ini perdebatan lebih pada koalisi, tidak dimunculkan dia mau bawa apa dan yang membedakan dengan calon lain apa. Ini penting meski belum kampanye.

Kalau saat ini tidak ada bedanya tiga capres, jangan sampai saat kampanye perdebatan itu baru muncul. Kalau dimunculkan dari awal kan ada perdebatkan orang. Orang akan bikin spekulasi. Karena ini bagian dari pembelajaran politik. Kalau tidak ada perdebatan, tidak ada artinya.

Berarti pilpres nanti tidak seimbang, karena SBY mendominasi?

Kalau SBY melawan JK memang nggak imbang. Tapi kalau ada calon baru, bloknya seperti apa, ini nanti akan menjadi lebih menarik.

Efektifkah gerakan-gerakan menjaring koalisi sekarang mengingat masyarakat kita masih cenderung memilih figur?

Faktanya memang ke situ, masyarakat kita lebih memilih figur. Makanya ke depan yang harus kita lakukan adalah, selain memunculkan figur juga harus ada ukuran-ukuran. Figur selama ini dipilih sebagai reaksi atas tidak kerjanya alat-alat politik. Tidak beda jauh dengan pragmatisme.

Tiga capres yang muncul apakah ke depan bisa membawa Indonesia lebih baik lagi?

Indonesia sepertinya masih akan konservatif seperti sekarang ini siapa pun presiden yang terpilih. Kecuali ada perdebatan-perdebatan baru baru.

Perdebatan-perdebatan seperti apa?

Perdebatan bagaimana mengatasi krisis, bagaimana memajukan ekonomi, menyelesaikan utang luar negeri, mengurangi ketergantungan dengan asing, serta pelembagaan demokrasi.

Selama ini para calon hanya mengedepankan jargon-jargon saja. Jangan-jangan penganut ekonomi neoliberal dan ekonomi kerakyatan dalam aplikasinya sama. Jangan-jangan calon dari agama dan dari nasionalis juga sama.

Jadi harusnya yang seperti apa yang kita layak memimpin Indonesia nanti?

Yang pro pada populisme, tapi bisa menjaga stabilitas ekonomi dan pro rakyat.

Jadi tak masalah apakah yang memimpin berfaham neoliberal atau kerakyatan?

Ya harus pro kerakyatan. Tapi susah dibedakan neolib dan kerakyatan, karena sampai saat ini belum ada perdebatan soal itu.

Sebenarnya efektif nggak memperdebatkan neoliberal dan kerakyatan?

Selama ini kan cuma jargon-jargon saja. Calon Ini condong neolib, calon itu condong kerakyatan. Ukurannya apa? Jadi mereka memberi label dirinya masing-masing. Ini bentuk kolonisasi politik. Jangan sampai pemilih terjebak narsisme para calon.

(anw/iy)

Tidak ada komentar: