Jumat, 10 Juli 2009

Memahami Putusan Pemilih dalam Pilpres

Opini
Memahami Putusan Pemilih dalam Pilpres
Jum'at, 10 Juli 2009 - 10:01 wib
Sejatinya para pendukung SBY-Boediono, dengan mengacu pada hasil quick count yang menyatakan mereka sebagai pemenang, sedang berancang-ancang untuk berbagi jatah menteri di kabinet.Tak perlu heran, setelah memenangi pilpres, langkah yang sudah seharusnya dilakukan oleh tim pemenang memang membentuk pemerintahan. Tapi bukan masalah bancakan kekuasaan itu yang hendak diangkat dalam tulisan ini; melainkan soal sikap pemilih dalam menentukan pilihannya pada 8 Juli lalu. Beberapa kawan bertanya, kenapa JK-Wiranto mendapat suara yang tidak signifikan, padahal dalam setiap debat capres Kalla selalu tampil bagus?Dalam hal penguasaan panggung debat bahkan JK bisa dikatakan mampu mengalahkan SBY, tapi mengapa perolehan suaranya tidak bisa melampaui SBY? Sebaliknya untuk Megawati, dalam tiga kali debat dia selalu tampak ketinggalan dari Kalla ataupun SBY; tetapi perolehan suaranya justru melampaui Kalla. Lebih dari itu, pasangan Mega-Prabowo seakan-akan mengambil suara Kalla lebih banyak ketimbang suara SBY.Jika demikian, apakah benar debat capres tidak memberi pengaruh penting dalam perolehan suara? Toh suara untuk pasangan SBY-Boediono relatif bertahan dengan jumlah yang banyak diramalkan lembaga-lembaga survei sebelum pilpres, yaitu sekitar 60%. Bagaimana kita menjelaskan kenyataan ini?Empat Model KeputusanDebat capres, seperti juga iklan politik, adalah bagian dari kampanye pilpres. Seperti kita ketahui, kegiatan utama kampanye pilpres adalah pemberian informasi sebanyak-banyaknya dari masing-masing kandidat untuk para calon pemilih. Informasi di sini mencakup visi, misi, dan program di samping jati diri dan rekam jejak masing-masing kandidat.Dalam proses pemilu/pilpres, informasi itu adalah dasar bagi pemilih untuk menentukan pilihannya. Kita sudah mafhum bahkan jauh sebelum masa kampanye, para calon pemilih sudah mendapatkan informasi mengenai keenam capres/cawapres. Semakin dekat ke hari pemilihan, semakin banyak informasi yang mereka kumpulkan dari berbagai sumber, termasuk dari lima kali debat.Terkait dengan pengumpulan dan pengolahan informasi, ada empat model pengelolaan informasi yang lazim terkaji di kalangan pemilih untuk menentukan pilihan (Lau & Redlawsk, 2006). Pertama, model dispassionate decision making. Dalam model ini pemilih secara aktif mencari informasi sebanyak mungkin baik yang positif maupun yang negatif dari ketiga pasangan capres-cawapres. Setelah mempertimbangkan secara rasional semua informasi yang diterimanya, pemilih dengan model pengolahan seperti ini selanjutnya menentukan pilihan.Dasar penentuannya adalah kepentingan dirinya sendiri, bukan atas keberpihakan atau desakan dan tekanan siapa pun. Itulah mereka pemilih yang independen. Kedua, model confirmatory decision making. Pemilih dengan pengolahan informasi model ini cenderung mencari informasi yang bersifat meneguhkan pilihan yang sudah dimilikinya. Hal ini dilakukannya karena mereka ingin struktur kognisinya selalu berada dalam kesetimbangan.Untuk itu mereka hanya mencari informasi yang mendukung pilihannya dan menghindari informasi yang dianggap membebani pikiran. Model ini banyak dialami oleh pemilih yang memiliki kedekatan emosional dengan salah satu kekuatan politik (capres/cawapres) yang didukungnya. Ketiga, model fast and frugal decision making. Sekalipun pemilih dengan pengolahan informasi model ini aktif mencari informasi mengenai ketiga pasangan, tapi pencarian informasi difokuskan pada informasi tertentu yang terkait langsung dengan pilihan yang telah dimilikinya.Mereka bertindak efisien dalam mencari informasi. Satu dua informasi, yang positif atau negatif, sudah dianggap cukup dalam menentukan pilihan. Kalangan pebisnis yang supersibuk cenderung menjadi pemilih model ini. Keempat, model intuitive decision making. Bagi mereka yang lebih suka memakai stereotip, skemata, penilaian sepihak, dan enggan mendalami informasi yang dimilikinya, termasuk ke dalam model keempat ini.Dalam model ini terjadi cognitive shortcut di kalangan pemilih mengenai masing-masing capres dan cawapres. Jangan salah, model ini tidak hanya terjadi di kalangan awam, melainkan juga bisa terjadi pada kaum elite. Termasuk ke dalam pola pikir yang menelantarkan asas rasionalitas ini adalah kepatuhan yang buta pada ajakan dan putusan pimpinan. Manakah yang banyak terjadi di antara empat model di atas? Kecenderungan utamanya adalah model yang kedua.Rupa-rupanya para pemilih kita sudah punya kedekatan dan pilihan secara emosional dengan salah satu pasangan sebagaimana telah banyak diprediksikan, bahkan sebelum masa kampanye. Karena itulah kampanye terbuka, pemasangan iklan, debat capres, dan pemberitaan di media massa tidak terlalu banyak memengaruhi sikap pemilih. Kalaupun mereka menerima informasi dari berbagai sumber itu, mereka hanya menggunakan informasi yang meneguhkan pilihannya.Itulah sebabnya tak mengherankan jika quick count menunjukkan kemantapan angka pilihan konstituen terhadap masing-masing kandidat seperti sudah diduga sebelum pelaksanaan pilpres itu sendiri. Kemantapan angka itu juga terjadi karena ditopang oleh model pengolahan informasi yang keempat. Umumnya, pemilih kita juga sangat suka dengan stereotyping mengenai sosok (figur) pribadi masing-masing kandidat. Maka beruntunglah kandidat yang mendapat stereotip positif atas sosok pribadinya yang tampak gagah, tampan, dan santun.Atas dasar itulah mereka memilihnya dan mendapat angka yang tinggi. Adapun sosok-sosok yang dianggap biasa-biasa saja cenderung kurang mendapat dukungan, sekalipun tampak cerdas. Pemilih kita tampaknya kurang suka pada kandidat yang terbuka dan terus terang dalam menyatakan pendapat (low context communication) ketimbang kandidat yang kalem dan diplomatis (high context communication).Masa Depan PilpresApakah perilaku pemilih pada Pilpres 2009 ini akan terulang pada Pilpres 2014? Boleh jadi terlalu dini kita memprediksinya, tapi jika melihat karakteristik pemilih kita yang emotional based itu maka tampaknya model kedua itu masih akan berlaku dalam pilpres yang akan datang.Pada umumnya pemilih kita mudah terikat secara emosional dengan kandidat yang didukungnya. Lebih dari itu pemilih kita juga dikenal sebagai pemilih yang "welas asih" kepada kandidatnya itu. Bahkan struktur kognisi mereka merasa akan terganggu jika kandidatnya diserang atau diperlakukan tidak adil. Faktanya, pemilih jenis ini masih menjadi lapisan terbanyak di tengah masyarakat kita.Dengan karakteristik pemilih seperti itu, modal intelektualitas dalam bentuk kejelasan visi, misi, dan program serta risk taker bukan sesuatu yang patut diandalkan pada pilpres selanjutnya.Yang penting bagi pemilih irasional dan intuitif ini adalah kepiawaian membentuk hubungan emosional dengan para calon pemilih.Untuk yang terakhir ini penampilan yang good looking bisa dijadikan salah satu kekuatan di samping strategi high context communication. Siapakah yang muncul kelak? Kita tunggu!(*)Ibnu HamadDosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia(//mbs)

Tidak ada komentar: