Jumat, 10 Juli 2009

Warta No.1: Dr. Hendri Saparni : Jangan Jadi Negara Spesialis Bahan Mentah

Jumat, 12/06/2009 15:32 WIBWarta No. 1
Dr. Hendri Saparni: Jangan Jadi Negara Spesialis Bahan Mentah
Adv - detikNews
-->Jakarta - Pola perdagangan Indonesia sudah harus secepatnya diubah dari yang selama ini selalu mengekspor bahan-bahan mentah, menjadi pengekspor barang-barang jadi. Selama ini, sebagai contoh, Indonesia selalu mengekspor pasir timah dan rotan ke luar negeri, dan membeli barang-barang jadi hasil olahannya. Demikian salah satu poin kritis yang disampaikan oleh ekonom dari Econit Dr. Hendri Saparini dalam diskusi bertajuk 'Perbandingan Kinerja Ekonomi dan Hutang Negara Pemerintahan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono' yang dihelat di Mega-Prabowo Media Centre, Jalan Prapanca Raya No 39, Jakarta Selatan, Kamis (11/6). Menurut Hendri, pola ekspor bahan-bahan mentah yang selama ini berlangsung tidak akan menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi bangsa, termasuk pengangguran. Karena industri pengolahan bahan jadi dalam negeri tidak berkembang. Sebab pada saat Indonesia mengekspor barang mentah tadi, Indonesia juga mengekspor nilai tambah dari barang tadi yang sebenarnya bisa dihasilkan di Indonesia. "Kita juga berikan lapangan kerja itu kepada negara-negara yang mengimpor bahan mentah tadi,” imbuh Hendri. Ia pun mempertanyakan, "Apakah itu mau kita hentikan dan kemudian mulai mengolah barang mentah itu di dalam negeri atau tidak? Kalau bangsa Indonesia merasa cukup dengan menyandang predikat sebagai spesialis eksportir bahan baku dunia, ya silahkan teruskan?"Karena itu, Hendri melihat momentum pilpres pada 8 Juli 2009 nanti menjadi penting untuk melakukan perubahan terhadap kebijakan ekonomi tersebut. “Semestinya kalau kita mau, bahan-bahan mentah tersebut bisa di produksi di dalam negeri," ungkapnya. (adv/adv)
Kamis, 11/06/2009 18:16 WIBWarta No. 1
Hendri Saparini: Jangan Lanjutkan Pemerintahan Neoliberal
Adv - detikNews
-->Jakarta - Siapa pun presiden dan wakil presiden yang terpilih dalam pilpres 2009 nanti, pengamat ekonomi Econit Dr. Hendri Saparini mengingatkan agar tidak melanjutkan kebijakan ekonomi neoliberal. Karena itu ia mendorong program ekonomi kerakyatan yang diusung pasangan Mega-Prabowo dan program kemandirian ekonomi yang digagas Jusuf Kalla-Wiranto. "Bagi saya yang penting ekonomi Indonesia tidak melanjutkan kebijakan liberalisasi seperti pemerintahan sekarang ini. Ini kebijakan yang mesti kita rombak, yang sekarang sudah tidak bisa dilanjutkan lagi," papar Hendri Saparini dalam diskusi publik di secretariat Mega-Prabowo Media Center, Jl. Prapanca Raya No. 39 Jakarta Selatan, Kamis (11/6).Dalam diskusi yang dihadiri puluhan wartawan dari berbagai media ini, Hendri juga menyoroti kebijakan pemerintah SBY yang cenderung bertolak-belakang dengan kepentingan ekonomi rakyat. Dicontohkan kebijakan fiskal yang bertentangan dengan pengentasan kemiskinan adalah pencabutan subsidi BBM yang malah justru kontra-produktif. Begitu juga kebijakan impor sejumlah produk seperti tekstil, telah mengakibatkan industri tekstil dalam negeri hancur akibat harga pakaian dari China jauh lebih murah.Lebih jauh, Hendri juga mengkritisi kebijakan liberalisasi dalam perdagangan ritel yang sudah terlalu jauh dengan munculnya pasar-pasar modern termasuk hypermarket. "Kalau ini dilanjutkan, pasar-pasar tradisional akan tergusur oleh para pemilik modal besar," tambah Hendri. Karena itu, ia mendukung program pemberdayaan pasar tradisional yang diusung Mega-Prabowo.Pada kesempatan yang sama, Prof. Hendrawan Supratikno dari Megawati Institute juga membandingkan kinerja pemerintah SBY dengan pemerintah sebelumnya. Dari angka-angka yang disodorkannya, terungkap meski jumlah penduduk miskin berkurang akan tetapi garis kemiskinan justru semakin tinggi yakni mencapai 186.636/ kapita/ bulan (data Maret 2008). Begitu juga tingkat ketimpangan pendapatan dan tingkat inflansi semakin parah pada masa SBY. "Penggerogotan daya beli masyarakat semakin besar," ujar Hendrawan. (adv/adv)
Kamis, 11/06/2009 11:54 WIBWarta No. 1
Mega-Prabowo Teken Kontrak Politik
Adv - detikNews
-->Jakarta - Disaksikan ribuan pelajar, mahasiswa dan pemuda, Prabowo Subianto menandatangani kontrak politik di Bumi Wiyata, Margonda, Depok, Jawa Barat, Rabu siang (10/6). Kontrak tersebut berupa kesepakatan pasangan capres-cawapres Megawati-Prabowo untuk mencabut UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang dianggap merugikan rakyat.UU BHP dianggap bertentangan dengan semangat Pancasila dan UUD 1945. Dengan adanya UU itu, pendidikan menjadi mahal, sehingga hanya anak orang kaya yang bisa menjadi sarjana. “Orang miskin seperti anak-anak petani dan nelayan tidak akan bisa menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi,” ujar Prabowo dalam sambutannya. Karena itu, ia bersedia meneken kontrak politik untuk mencabut undang-undang yang tidak pro rakyat.Acara kontrak politik tersebut dihadiri perwakilan dari enam perguruan tinggi yakni Universitas Kristen Indonesia (UKI), Universitas Pembangunan Nasional (UPN), STIE Dharma Bumiputra, Universitas Nasional, semuanya dari Jakarta, serta UIN Alauddin Makassar. Ada juga perwakilan dari pelajar yakni SMK di daerah Depok, pengamen jalanan dan pedagang kaki lima. Prabowo sempat mendengarkan keluhan-keluhan mereka.Perwakilan mahasiswa dari UIN Alauddin dan UKI, mempersoalkan diterapkannya UU BHP pada akhir 2008 yang dianggapnya merupakan bentuk komersialisasi pendidikan. Karena itu, mereka meminta jika Mega-Prabowo berkuasa segera mencabut UU BHP. Salah satu wakil pelajar SMK, Bangun Satriadinata mempersoalkan iklan pemerintah tentang sekolah gratis yang ternyata tidak benar-benar gratis. Karena tetap saja ada biaya pendidikan yang harus tetap ditanggung pelajar yang cukup berat bagi orang tua murid. Dalam kesempatan yang sama, pengamen jalanan sekaligus ketua pedagang kaki lima (PKL) terminal Depok, Rahman Tito mengungkapkan tindakan penggusuran yang sering dialami pedagang kecil di daerahnya. Dia pun selalu memasang badan utk menghadapi penggusuran di daerahnya. “Saya berharap tidak ada lagi penggusuran terhadap PKL. Jangan sampai Perda mengalahkan hak hidup pedagang kecil,” tuturnya dihadapan Prabowo. Kontrak politik tentang pencabutan UU BHP tersebut rencananya juga akan disosialisasikan dan ditindaklanjuti dengan BEM seluruh Indonesia pada 16 Juni 2009 nanti. (adv/adv)
Rabu, 10/06/2009 19:07 WIBWarta No. 1
Revrisond Baswir: Hasil Survei LSI Alihkan Isu Neolib
Adv - detikNews
-->Jakarta - Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menempatkan perolehan suara yang bakal diraup pasangan SBY-Boediono dalam pilpres mendatang ternyata membuat heboh. Karena itu pilpres diprediksi cukup berjalan satu putaran. LSI mencatat pasangan SBY-Boediono memeroleh 71%, Mega-Prabowo 18 %, dan JK-Win hanya 7%.Banyak pihak yang menanggapi miring hasil survei LSI. Sebab ditengarai lembaga penyurvei tidak independen. Salah satu faktornya, pendanaan survei ditanggung Fox Indonesia yang notabene konsultan kampanye SBY-Boediono. LSI lalu dituding mengerjakan survei berdasarkan keinginan pemesan.Tetapi, Revrisond Baswir, pakar ekonomi kerakyatan FE UGM, Yogyakarta menilai survei LSI dengan perspektif berbeda. Menurutnya, ketika dihubungi Rabu sore (10/6), "Itu sengaja dilempar untuk menepis isu neolib." Lanjutnya, boleh saja kita kritisi hasil survei itu. Baguslah publik ternyata kritis. Hanya saja, pintanya mengingatkan, kita perlu pula mewaspadai jangan sampai publik terprovokasi.Bagi ekonom yang biasa dipanggil Soni, pasangan SBY-Boediono sangat terpukul ketika isu neolib menerpa mantan Gubernur Bank Indonesia itu. Sekalipun tim sukses SBY-Boediono mencoba menepis, cap neolib yang mengganggu mereka terus bergulir. "Jelas, jelas sekali SBY-Boediono terpukul dengan isu neolib," pungkasnya. (adv/adv)

Tidak ada komentar: