Jumat, 10 Juli 2009

SBY "Kucilkan Prabowo dan Wiranto

10/07/09 17:44
SBY 'Kucilkan' Prabowo dan Wiranto?
Ahluwalia
SBY-Prabowo-Wiranto
[inilah.com /Raya Abdullah]
INILAH.COM, Jakarta – Partai Golkar dan PDIP dipastikan akan dirangkul SBY dalam menyusun kabinet baru. Namun, mengapa SBY terkesan enggan mengajak Gerindra pimpinan Prabowo dan Hanura pimpinan Wiranto? Adakah SBY ingin mengucilkan kedua mantan jenderal itu?
Sungguh ini berita buruk bagi stabilitas dan kesinambungan Negara-bangsa ini ke depan. Kemenangan mutlak SBY telah membuat kubu Prabowo dan Wiranto berang, karena Kmoisi Pemilihan Umum dicurigai berbuat curang.
“Sudah banyak bukti, memang. KPU keterlaluan, karena DPT buruk dan busuk,” kata seorang pengamat pemilu seolah membela kedua pasangan yang kalah.
KPU sendiri tentu tak mau dijadikan kambing hitam. “Tapi yang jelas, kemenangan SBY dicurigai banyak pihak, karena hanya dalam satu putaran,” tutur Ray Rangkuti, pengamat pemilu.
Selama masa kampanye, Gerakan Satu Putaran memang telah menyulut ‘api dalam sekam’ politik publik. Kubu Prabowo dan Wiranto telah mengingatkan dan mengkritik tajam atas gerakan satu putaran dan kinerja KPU yang buruk sekali. Akibatnya, hasil hitung cepat LSI juga kian jadi sorotan masyarakat, karena KPU terkesan mengikuti dan membenarkan hitung cepat itu.
Akibat selanjutnya, tudingan planting information kembali menyeruak menjelang Pilpres Juli ini. Para analis pun melihat hal ini sebagai upaya mengarahkan pilpres agar benar-benar tamat dalam satu putaran.
Analis politik melihat, hitung cepat (quick count) yang dilakukan lembaga survey pimpinan Denny JA pada Pilpres 2009 seperti sebuah planting information untuk menjustifikasi elektabilitas pasangan SBY-Boediono.
Sejatinya kemungkinan terjadinya planting information dalam hitung cepat itu memang telah diduga dan dirasakan publik sejak Pilkada Jawa Timur dan pemilu legislatif. “Namun dugaan itu muncul lagi pada pemilu presiden ini, sehingga Gerakan Satu Putaran amat mencurigakan. Ini sungguh keterlaluan,” papar seorang analis politik.
Fenomena politik ini memang jadi kekhawatiran banyak pihak. Planting information intinya menggunakan hitung cepat atau survei untuk mendorong popularitas dan memenangkan pasangan tertentu dalam pemilihan. Bila ini terjadi karena intervensi dari pihak luar, maka dianggap amat berbahaya bagai proses demokratisasi.
“Kubu Prabowo dan Wiranto sangat kritis terhadap pilpres dengan kinerja KPU yang buruk itu. Sikap kritis ini bagus, agar KPU lain waktu bisa bekerja baik dan optimal,” kata seorang analis.
Mungkin karena SBY takut bahwa Prabowo atau Wiranto kecewa dan geram kepada SBY, maka sang incumbent hanya mengajak PDIP dan Golkar. Tapi itu justru memantik perlawanan public, karena SBY terkesan pilih kasih.
Bukankah SBY, Prabowo, dan Wiranto sama-sama almuni Akademi Militer? Apakah mereka akan terus bersitegang dan bermusuhan, sementara rakyat butuh solusi atas semua persoalan? “Indonesia harus mencari solusi atas krisis yang dihadapi,” kata Prof William Liddle dalam sebuah diskusi.
Solusi itu tentu tak bisa diprakarsai oleh kubu SBY saja, oleh kubu Prabowo saja atau Wiranto saja. Memang dalam tradisi politik barunya bangsa Indonesia kini memungkinkan adanya kekuatan oposisi. Namun sejauh ini tak ada tradisi loyal, yang ada hanya oposisi barisan sakit hati.
“Karena itu SBY tak boleh membiarkan adanya barisan sakit hati. Jangan sampai hal itu dilakukan kubu Demokrat yang kini semakin kuat,’’ kata seorang analis.
Melihat kompleksitas masalah bangsa, mulai dari soal kemiskinan, ketidakadilan, dan pengangguran, ada baiknya kubu SBY mengajak pula kubu Prabowo dan Wiranto dalam penyusunan kabinet, bukan hanya kubu Mega (PDIP) dan JK (Golkar) serta koalisi tambunnya. Bukankah SBY ingin mewujdukan motto politiknya, ‘lanjutkan’, dan membangun kesinambungan tanpa perlawanan? [P1]

Tidak ada komentar: