Jumat, 10 Juli 2009

Situasi Golkar Siaga Satu?

10/07/09 15:14
Situasi Golkar Siaga Satu?
R Ferdian Andi R
INILAH.COM, Jakarta – Kekalahan ganda yang dialami Partai Golkar dalam Pemilu 2009 menyisakan persoalan serius di tubuh partai beringin itu. Seiring dengan kekalahan telak itu, Golkar menghadapi sejangkala. Bagaimana masa depan partai yang pernah dibesarkan mantan Presiden Soeharto tersebut?
Faktanya kini drama politik yang menyakitkan betul-betul dihadapi Partai Golkar. Betapa tidak? Partai mayoritas dalam Pemilu 2004 itu kini nyaris yang tak diperhitungkan lagi. Dalam pemilu legislatif ia hanya mengumpulkan 14% suara dan di pemilu presiden pun capresnya hanya mampu menghimpun 11-12% suara.
Performa Golkar dalam Pemilu 2009 ini memang ironis. Dengan posisi ketua umumnya di kuris RI-2, Partai Golkar mestinya memiliki akses yang lebih mudah untuk membesarkan dan mengkonsolidasikan partai. Namun nyatanya konsolidasi Partai Golkar selama lima tahun terakhir ini tak membuahkan hasil.
Hasil Pemilu 2009 dan serangkaian pemilu kepala daerah menunjukkan konsolidasi internal Partai Golkar tak berjalan sukses.
Maka tak mengherankan bila kekalahan JK-Wiranto dalam Pilpres 2009 ini langsung memicu ide Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub). Targentnya cukup tegas, yaitu mengevaluasi kepemimpinan JK di partai itu. Munaslub ini bisa berarti juga mempercepat Munas yang sedianya dijadwalkan Desember 2009.
Gagasan Munaslub yang awalnya disuarakan oleh elit Golkar yang tidak sevisi dengan JK itu memuncak pasca kekalahan Partai Golkar dalam pemilu legislatif lalu. Motornya adalah tokoh yang dikenal dengan sebutan ‘Triple A’ (Akbar Tandjung, Agung Laksono, dan Aburizal Bakrie). Situasi ini jelas menegaskan, ketidaksolidan elit Golkar dalam mendukung JK maju dalam Pilpres 2009.
Maka kekalahan JK yang cukup dramatis di kantung suara Partai Golkar dimaknai serius oleh loyalis dan pendukung JK, terutama di wilayah Indonesia Timur. Ancaman untuk tidak memilih alias keluar dari Partai Golkar muncul.
Bahkan di situs jejaring sosial Facebook, muncul grup ajakan untuk membubarkan Partai Golkar yang disuarakan dari pendukung JK-Wiranto. “Setujukah Anda, Partai Golkar dibubarkan,” demikian tulis pengguna Facebook sebagai ungkapan kekecewaan mereka terhadap Partai Golkar.
Kekecewaan itu kian memuncak dengan kekalahan pasangan JK-Wiranto. Apalagi, fakta politik dalam pemilu presiden lalu sebagaimana terekam dalam exit poll (jawaban responden sesaat setalah keluar dari TPS) oleh LP3ES yang mengungkapkan bahwa pemilih Partai Golkar dalam pemilu legislatif lalu sebenarnya masih dominan mendukung JK-Wiranto dengan presentasi sebesar 41%, memilih SBY-Boediono 38,9% dan Megawati-Prabowo 8,8%.
Dominasi pemilih Partai Golkar memilih JK berjarak tipis dengan pemilih Partai Golkar yang memilih SBY-Boediono. Artinya, mesin Partai Golkar benar-benar tidak maksimal mendongkrak perolehan suara JK. Meskipun, dalam pilpres langsung ini peran figuritas calon memang lebih dominan dalam menentukan perolehan suara.
Karenanya suksesi kepemimpinan Partai Golkar, entah lewat Munas ataupun Munaslub, menjadi demikian strategis bagi Golkar untuk survive lima tahun ke depan. Menurut pengamat politik dari LIPI, Siti Zuhro, jika Golkar tak jeli dalam memilih kepemimpinan partai, bisa saja Golkar akan terus mengecil.
“Harus dicari pemimpin Partai Golkar yang memiliki karakterisktik seperti Akbar Tandjung yang mampu menyatukan banyak faksi di Partai Golkar,” tegas Siti kepada INILAH.COM, di Jakarta, Jumat (10/7).
Hingga kini beredar sedikitnya tiga nama kandidat pengganti JK. Mulai Aburizal Bakrie, Surya Paloh, dan Agung Laksono. Khusus nama yang terakhir, sepertinya tak begitu dominan. Jika Aburizal Bakrie yang menggantikan JK, arah politik Golkar dipastikan akan condong ke kubu SBY. Namun jika Surya Paloh mampu mengambil alih kepemimpinan partai beringin tersebut, pilihan menjadi partai oposisi bersama PDIP diprediksi akan ditempuh.
Jika salah satu dari dua figur tersebut memimpin Partai Golkar lima tahun ke depan, apakah Golkar semakin mendekatkan pada pengecilan suara atau sebaliknya? Surya Paloh maupun Aburizal telah memainkan peran yang pernah dilakukan Akbar Tandjung di era awal reformasi dulu.
Meski begitu, sulit berharap dua figur tersebut untuk mampu Golkar semakin besar dan solid. Eksistensi Golkar tak semata-mata ditentukan oleh figur pimpinan pusat, tapi juga pada kemampuan pimpinannya mengikis pola pikir para kadernya di daerah yang telah terperangkap oleh paradigm kepemimpinan yang 'bergizi' dan 'tidak bergizi'. [P1]

Tidak ada komentar: